Senin, 10 Desember 2012

Ujian Style: Gerbang Menuju Lahirnya (Calon) Koruptor Besar di Masa Depan


Miris gak sih ketika hari ini (ya mungkin warisan turun temurun dari dulu juga) siswa-siswi kita udah gak bisa diem tuh kepalanya setiap menjalani apa yang dilabeli ujian.  Entah ujian harian yang paling tidak sebulan sekali ataupun ujian semseteran, tengah maupun akhir, yang Cuma 2x/6 bulan.  Kayaknya begitu didegungkan istilah tersebut otak mereka langsung terkoneksi dengan program “BAGAIMANA CARA SUPAYA WAJIB DAPET NILAI BAGUS” yang bersinergi dengan program “STRATEGI SEARCHING JAWABAN DI LUAR OTAK SENDIRI”.  Dan kedua program ini melahirkan satu style yang dinamai “UJIAN STYLE”.  Layaknya Gangnam styl-nya PSY ataupun shuffle dance-nya anak gaul barat sana yang tiba-tiba mengguncang dengan ciri khasnya, “Ujian Style” pun marak di waktu ujian.  Adapun ciri khasnya ialah gerakan kepala dan lirikan mata serta tubuh bagian atas, tidak seperti Gangnam atau Shufle yang cenderung mengaktifkan tubuh bagian bawah.  Dan, biasanya para penganut “Ujian Style” ini ialah mereka yang kadar PD-nya below poverty (gak edan gimana udah poverty, below pula).  Tapi percaya atau tidak, ya beginilah kondisi siswa-siswi negeri kita hari ini.  Lebih miris lagi ialah fakta bahwa kadar ketakutan dan malu mereka sudah banyak berkurang yang merupakan indikasi nyata degradasi moral yang terjadi pada generasi muda kita hari ini.  Mungkin aktivitas mencari jawaban diluar otak sendiri atau mencotek ini dianggap hal sederhana.  Tapi, disadari atau tidak hal sesederhana ini jika dicerna secara mendalam akibatnya tidaklah sesederhana prakteknya.   Praktek menyalin jawaban dari luar otak sendiri ini bila dipelihara bisa menjadi suatu kebiasaan yang mendarah daging.  Okelah kalau kadarnya tidak lebih dari mengambil jawaban orang atau dari sumber yang bukan milik sendiri.  Nah, apa gak jadi masalah besar kalau bukan hanya jawaban, melainkan hingga uang orang lain pun kita ambil begitu saja?  Berlebihan, mungkin bagi yang merasa, tapi itu satu fakta yang kemungkinan terjadinya besar.  Bisa dikatakan jika mencontek bisa dikatakan merupakan bentuk korupsi kecil-kecilan sejak dini.  Dan, bisa jadi para pencontek ini ke depannya bertransformasi jadi para koruptor yang licin nan licik.  Sepakat? Ya terserah kalau tidak percaya.  Tapi setidaknya kita sebagai bagian dari dunia pendidikan hari ini mesti berupaya bagaimana caranya paling tidak meminimalisir aksi tidak sportif tersebut.  tentu tidak mudah, butuh keteguhan dan ketegaran karena kita akan melawan arus.  Apalagi jika posisi kita masih dipandang sebelah mata dengan status kita yang belum menjadi unsur pendidik sungguhan, baru sebatas praktek.  Keberanian dan kepercayaan diri sangat diperlukan jika kita tak ingin diserang balik dengan telaknya oleh argument yang cerdas (namun tidak pada tempatnya) para siswa-siswi oknum koruptor dini tsb.  Ahh..bukan salah-salah mereka amat sebetulnya.  Sistem pendidikan kita yang masih berorientasi pada nilai dan kuantitas tanpa kesadaran mengirinya dengan penguatan dan pembenahan kualitas mendorong oknum-oknum koruptor cilik itu bermunculan.  Jika saja sedari awal pembelajaran diarahkan pada penguasaan materi, penguasaan skil, tentu bisa meminimalisir tindakan tidak terpuji ini.  Namun, ya, sekalipun sistemnya bermasalah jangan sampai kita yang ada dalam sistem tersebt ikut tergulung arus begitu saja tanpa ada pertahanan yang berarti.  Sekali lagi kita punya kesempatan untuk paling tidak meminimalisir praktek korupsi dini tersebut.  Yuk, kalian yang punya  kepedulian lebih dengan pendidikan di negeri ini, mari berantas praktek korupsi dini di kalangan siswa-siswi kita! Mari ciptaan lingkungan belajar yang kondusif: serius tapi menyenangkan, mari kedepankan kualitas  di atas kuantitas.  Salam pencerahan, salam positivism, dan salam anti KORUPSI!