Minggu, 28 Oktober 2012

IPA-IPS: Popularitas vs Stereotipe


http://ibnulinggasakti.wordpress.com/2009/11/page/2/

“Berdasarkan pengalaman tahun lalu, peminat ke jurusan IPA itu jauh lebih banyak daripada ke jurusan IPS, maka punten saja ketika kuota sudah penuh, kami potong, sisanya masuk kelas IPS karena hanya ada 5 kelas IPA di sekolah kita ini.  Jadi, bagi murid kelas X yang ingin masuk IPA diharapkan bisa belajar sungguh-sungguh supaya masuk dalam kuota tersebut.” begitulah salah satu petikan pesan yang disampaikan oleh seorang kepala sekolah di salah satu sekolah menengah negeri di kota Bandung dalam suatu upacara hari senin pagi.  Saya, yang juga berada di situ takjub dan tertegun saja mendengar ucapan beliau.  Saya memang takjub, namun ketakjuban saya bukan karena terpesona oleh isi pidato beliau, melainkan lebih kepada kok kenapa bisa terlontar ucapan seperti itu dari beliau.  Ada yang salah? Tidak juga sih, mungkin.  Ya, secara umum dan objektif  himbauan yang beliau berikan sepertinya tidak ada muatan negatif.  Akan tetapi, secara subyektif saya sih merasa keberatan dengan himbauan yang beliau berikan.  Apa pasal? Berikut saya jabarkan poin-poin yang tidak bisa saya sepakati dari pernyataan beliau.

Pertama, pengkultusan jurusan IPA.  Sudah jadi stigma umum dan dipertahankan sekian tahun lamanya bahwa jurusan IPA dipandang lebih tinggi secara strata soasial dibanding kelas sosialnya itu sendiri.  Cap anak pintar dan baik-baik begitu melekat dengan para penghuni IPA, sebaliknya hampir semua stigma negatif mau tidak mau ditujukan pada mereka warga IPS.  Kan, kalau yang pintar identik dengan IPA, berarti IPS identik dengan? Ah, saya sih tidak berani menjawab ya, khawatir ada yang keberatan.  Karena sebenarnya saya sendiri pun keberatan.  Tidak semua yang masuk IPA memiliki kemampuan akademis yang lebih dari kaum IPS yang termarjinalkan, sepengalaman saya.  Waktu zaman saya SMA ada kok satu anak yang level kepintarannya setara dengan anak terpintar di IPA, tapi dia toh berstatus ‘makhluk’ sosial.  Implikasinya apa? Dia tetap menjadi yang terbaik di lingkungan mana pun ia menetap.  Dari kelas satu peringkat sebagai bintang kelas tak pernah lepas dari genggamannya.  Dan, kasus teman saya ini akan menggiring kita menuju poin kedua.

Bagi saya dan berdasarkan pada pengalaman teman saya di atas, menjadi anak IPS itu tidak selamanya merupakan takdir, akan tetapi dalam beberapa kasus hal tersebut merupakan pilihan.  Pilihan yang dilakukan secara sadar, bukan karena terpaksa karena tidak mencukupi masuk IPA dari segi kuantitas nilai, tidak pula karena tak ada pilihan lain.  Dan, tidak sedikit dari mereka-mereka yang memilih IPS itu dilandasi kesadaran bahwa pada akhirnya mereka memang akan dan ingin menempuh program studi berbasis IPS seperti manajemen, akuntansi, ekonomi, dsb.  Saya kemudian berangkat dari fenomena tersebut iseng mengelompokkan mengelompokkan siswa IPS ke dalam dua kategori: Siswa yang dipilih takdir dan siswa yang memilih takdirnya sendiri.  Sama? beda lho.  Kalau yang kategori pertama ya mereka-mereka yang entah karena nilai IPA-nya tidak mencukupi, kuota masuk IPA sudah habis, dll sehingga dinyatakan gagal menjadi anak IPA.  Sedangkan kategori yang kedua diperuntukkan bagi mereka yang memang sedari awal sudah menentukan sikap untuk masuk IPS, tanpa peduli nilainya cukup atau tidak ke IPA.  Dan, tanpa bermaksud mengeneralisasi kebanyakan mereka yang masuk kategori kedua, mereka sebenarnya sangat berpotensi masuk IPA baik dari segi kuantitas nilai ataupun kapasitas keilmuannya.

Poin selanjutnya adalah himbauan untuk menyeriusi mata pelajaran MAFIKIBI (Matematika, Fisika, Kimia, Biologi) seolah makin menegaskan kedigdayaan dan popularitas IPA di atas IPS.  Ini serius.  Bagi saya pernytaan tersebut sudah terlalu berlebihan.  Jika saya menjadi guru mata pelajaran IPS, sangat mungkin saya akan merasa tersinggung atau minimal terusik dengan himbauan yang diskriminatif tersebut.  Ya sekalipun sudah jadi sesuatu yang dimahfumi banyak pihak seharusnya keberpihakkan secara berlebih pada satu program mesti dihilangkan, terlebih di ranah sekola menengah.  Bisa dimaklumi jika ranah pendidikan kita adalah kejuruan yang memang sedari awal sudah memfokuskan diri pada satu bidang.  Saya, sebagai calon guru mata pelajaran umum saja merasa terusik.  Dan jika saya adalah siswa saya akan berfikiran naïf untuk mengesampingkan pelajaran lain di luar MAFIKIBI yang pada prakteknya hari ini dinilai tidak seurgen dan serelevan MAFIKIBI.  Syukurlah saya sudah bukan siswa lagi.

Maksud himbauan di atas mungkin baik, mendorong siswa untuk giat belajar sejak dini (baca: kelas X).  maklum lah siswa zaman sekarang mentang-mentang didukung oleh mudahnya akses informasi maunya serba instan.  Waktu saya masih berseragam putih abu, akses internet masih terbatas.  Sekarang? Beragam paket dengan sistem kuota hingga unlimited  bak kacang goreng sehingga akses informasi sangat mudah menyebar dan diterima.  Efeknya? Siswa malas baca lah, enggan belajar lah, sungkan mengerjakan tugaslah, semuanya berakar dari satu hal: terbiasa disuguhi yang serba instan.  Bahkan ulangan pun rasanya tidak afdol jika tidak lirik kanan-kiri.  Nah, tapi yang disayangkan himbauan positif ini beriringan dengan citra negatif atas pengekerdilan jurusan lain, atau mata pelajaran lain diluar mata pelajaran inti IPA, MAFIKIBI itu tadi.

Mohon maaf sekali Bapak, saya bukannya tidak ingin menghormati Bapak, saya hanya kurang sepaham dengan amanat yang Bapak sampaikan dalam upacara tempo hari.  Saya mungkin orang yang baru seumur jagung, masih terlalu hijau berkecimpung sebagai subyek di ranah pendidikan.  Tetapi saya telah lama sekali menjadi obyek pendidikan, sejak 17 tahun lalu hingga detik ini.  Paling tidak saya bisa mengungkapkan pandangan saya dari sudut objek pendidikan.  Paling tidak apa yang saya ungkapkan di atas mewakili posisi saya sebagai objek pendidikan.  Semakin diperkuat ketika saya menjadi subjek menu saja.  pendidikan.  Artinya ketika  saya terlibat langsung saya menjadi sedikit-sedikit paham bagaimana cara penilaian guru, aspek apa saja yang dinilai sampai keharusan untuk mencapai standar ketuntasan minimum (KKM) yang dalam beberapa kasus meletupkan pemberontakan dalam hati saya.  KKM ini seolah menegaskan quantity-oriented dalam pendidikan formal kita hari ini sebagaimana halnya pengkultusan jurusan IPA di atas yang berorientasi pada jumlah dan nilai.  Kan, tidak disinggung aspek minat disana, yang ada hanya unsur bakat yang diwakili angka (baca: nilai mata pelajaran).  Sementara dalam beberapa teori, pemilihan jurusan alangkah baiknya didasari oleh sinergisitas aspek minat dan bakat.  Bakat memang bisa diasah, minat pun bisa ditumbuhkan; namun apakah keduanya bisa dipaksakan?


Rabu, 17 Oktober 2012

Sepagi ini kita berpisah…


Perpisahan yang sebegitunya dan sebegininya.  Terlalu cepat dan terlalu tidak adil.  Pertemuan terakhir kami berlangsung secara tragis dan dramatis.  Mengapa tragis? Karena diwarnai kesalahpahaman yang bukan berasal dari pihak kami—itu murni kesalahan teknis—, menjadi dramatis karena bak sinetron tanpa penjelasan.  Bukan tak ingin memberi penjelasan, namun rasanya tak akan banyak membantu.  Lagi pula dari sisi merekanya mungkin juga tidak mau tahu dan tidak bisa mengerti.  Maka jadilah saya yang paling merasa paling drama hari itu.  Cuma saya sepihak yang tahu kisahnya secara utuh, sedangkan mereka tahunya saya yang salah tahunya saya yang lalai.  Dan saya pada akhirnya harus menerima semua ini sebagai satu pil pahit sebagai pelajaran ke depannya di satu sisi, tapi memberi efek menyembuhkan di lain sisi.  Maksudnya menyembuhkan disini ialah bahwa mungkin memeng itulah cara terbaik bagi kami untuk berpisah.  Dengan begitu semoga tidak ada pihak yang akan merasa kesakitan.  Biarlah mereka dengan segala prasangka akhirnya bisa begitu saja melupakan kehadiran penulis yang sangat singkat dalam kehidupan mereka.  Dan biarlah saya dengan segala prasangka mereka pada akhirnya bisa melupakan semua kenangan singkat bersama mereka.  Jujur saja, cukup berat memang harus berpisah dengan mereka yang sudah mulai masuk ke hati saya.  Ya, sebenarnya saya sudah harus  berpisah lebih awal lagi dan bahkan saya sudah sangat siap saat itu.  Tapi ternyata takdir berkehendak lain.  Kami kembali dipertemukan.  Kali ini mereka begitu manis, hingga rasa enggan berpisah yang sempat hadir kembali menjalar, bahkan semakin parah!  Walaupun demikian perpisahan ini pasti terjadi, cepat atau lambat.  Dan, ya, sekali lagi pertemuan terakhir kami yang diwarnai kesalahpahaman itu biarlah menjadi pemisah kami.  Walau tidak fair untuk saya tapi bila dengan begitu kami tidak menjadi saling ketergantungan ke depannya tentulah akan sangat baik.  Maka, pada akhirnya perpisahan kelabu itu, caranya itu, latar suasananya saya anggap sebagai yang terbaik bagi kami.  Sampai jumpa kalian, semoga kenangan yang tak seberapa ini meski tak berkesan-kesan amat setidaknya meninggalkan barang sedikit bekas di benak kalian masing-masing. Sukses untuk kita semua.  Salam. Saya yang mungkin tidak kalian anggap penting dan kece.

Sabtu, 06 Oktober 2012

Perahu Kertas Part 2: ketika hati (itu) dipilih



“hati itu dipilih, bukan memilih”
Ini kisah penghabisan Kugy-Keenan yang dibiarkan menggantung di akhir kisah PK 1 Agustus lalu.  Buat penonton PK 1 dan terutama pembaa novelnya, tentu jadi film yang paling ditunggu di Oktober ini.  Bukan, bukan uma di Oktober ini, melainkan ditunggu sepanjang tahun ini.  Dan hasilnya? Well, bagi pembaca novelnya tidak akan menemukan kejutan di endingnya--tapi pasti penasaran dengan eksekusi endingnya; nah bagi penonton PK 1 bagaimanapun endingnya yang jelas mereka memang butuh kejelasan akan nasib Kugy, Keenan, Remi dan Luhde. 

Dibuka reuni pasukan kura-kura ninja di nikahan Noni-Bimo, diteruskan dengan sejumlah adegan dengan porsi besar untuk keempat tokoh sentralnya.  Bukan pasukan kura-kura ninja ya, tapi dua orang pasukan kura-kura ninja ditambah pasangan mereka kini, yap Remi dan Luhde.  Pasa reuni, Kugy-Keenan kembali intens.  Bahkan Kugy sampai rela mematikan handphone-nya sampai-sampai membuat Remi khawatir setengah mati demi menikmati ‘penculikan yang indah’ bersama Keenan ke sebuah pantai di Jawa Barat.  Belum lagi proyek dongeng-gambar baru mereka.  Kugy menjadi tak fokus pada pekerjaannya di Advocado hingga Remi terpaksa harus ‘mengundurkan diri’ sebagai atasannya.

Puncaknya adalah ketika Kugy-Luhde bertemu seara tak sengaja saat Kugy tengah dalam perjalanan berlibur bersama Avoado di Bali.  Keduanya baru saling sadar setelah berpisah.  Dan semenjak itu seuanya tak lagi sama.  Baik Kugy ataupun Luhde menyimpan kepahitannya masing-masing.  Bagi Kugy semakin kompleks tatkala hatinya remuk, tiba-tiba Remi ‘membalut’ lukanya dengan cincin.  Akhirnya, mengasingkan diri menjadi pilihan utamanya setelah kembali ke Jakarta.  Dari Remi, Keenan, dan semuanya.  Luhde sendiri mulai merasa bahwa hatinya tidak dipilih Keenan sekali pun lelaki pujaannya itu menyatakan bahwa hati-nya memilihnya.  “Hati itu dipilih, De; bukan memilih,” terngiang olehnya nasihat Pak Wayan yang ternyata memiliki masa lalu kelam dalam urusan asmara bersama ibu Keenan, Lena. 

Hati dua wanita terpaut pada satu hati pria yang sama tapi yang satu terikat pada yang lain sementara yang satu merasa pertautannya rapuh.  Sementara sang pria yang dimaksud, akhirnya tahu dan juga mengakui akan satu hati tapi sudah terikat pula pada hati yang lain dan berusaha memantapkan pada yang telah terikat.  Satu pria lagi? Pada akhirnya ia mengerti akan semua kesamaran yang mewarnai hubungannya dengan Kugy.  Semua, keempatnya memekuri kepeddihan hatinya masing-masing.  Namun demikian, sepahit apa pun, mereka mesti memilih, dan pada akhirnya akan bagaimana pilihan mereka? Pada siapakah hati mereka masing-masing bertaut?  Hati siapakah yang akhirnya saling dipilih?  Hanya di bioskop terdekat kesayangan Anda akan menemukan jawabannya, so buruan gih!



***

Buat yang udah nonton, gimana endingnya? Awesome? Unpredictable? Memorable? Atau malah forgettable? Well…buat penulis sendiri yang baca novelnya plus nonton part 1 nya, ya memang PK 2 menjadi wajib tonton demi menggenpi kepenasaran.  Jujur, di PK 1 penulis agak dibut bosan dengan alur yang enderung lambat, bagi penulis.  Ditambah interaksi Kugy-Keenan nya yang minim.  Dan harapan terbesar penulis  di PK 2 ini to be honest ya adegan Kugy-Keenan nya dibikin massif. Terpenuhinkah? A bit.  Ya, a bit.  Memang interaksi keduanya lebih banyak, tapi kadarnya sedikit bertambah banyak dari yang pertama, tidak sangat banyak.  Tidak jauh beda dengan interaksi Kugy-Remi dan Keenan-Luhde. Eksekusi adegan terakhirnya (antara  pemeran utama) juga tidak semanis ataupun semeriah dan sesumringah di novel.  Tak ada adegan angkat mengangkat, meskipun ukup membekas. Jika bagian ini dibuat lebih manis psti bakal semakin membekas.  Tapi, suguhan ending lain pada beberapa karakter ukup bisa jadi penawar akan semua itu, so sweet.  Buktinya? Penulis aja sambil kepengen buat barang sekali lagi hadir di bioskop demi menyaksikan adegan penghabisan ini.  Kenapa? Soalnya memang momen itu yang penulis tunggu dari overall film-nya.  Udah ahh penulis sedang enggan berpanjang lebar, intinya silakan tidak akan rugi merogoh koek Anda demi menyaksikan kisah perintaan bernuansa lain ini.  Oh, ya, sebagai pembaca novelnya meskipun ada beberapa adegan yang dirubah sampai-sampai mebuat unsur dramatisnya berkurang—seperti pas proses Keenan tahu perasaan Kugy dari Noni, pertemuan di Rnca Buaya, adegan terakhir—tapi karena yang menulis ksenario adalah penulis novelnya sendiri, jadi tidak sebegitu menganggunya dan malah penulis menikmati PK & PK 2 arahan Hanung Bramantyo ini sebagai satu sajian visual yang menarik. :D