Selasa, 28 Agustus 2012

Hey, You! Listen!

this lyric is dedicated for someone (or even some ones) who make this belongs to me (my experience, my story, my history). not all of the lyrics are suitable to me, but most of them is really "GUE BGT".. and, I make a little modification to make this lyrics more "GUE BGT"...


Apalah (Arti Menunggu) by Raisa
Telah lama aku bertahan
Demi cinta wujudkan sebuah harapan
Namun ku rasa cukup ku menunggu
Semua rasa tlah (perlahan) hilang

Sekarang aku tersadar
Cinta yang ku tunggu tak kunjung datang
Apalah arti aku menunggu
Bila kamu tak (pernah) cinta lagi

Namun ku rasa cukup ku menunggu
Semua rasa tlah (perlahan) hilang

Sekarang aku tersadar
Cinta yang ku tunggu tak kunjung datang
Apalah arti aku menunggu
Bila kamu tak (pernah) cinta lagi

Dahulu kaulah segalanya
Dahulu hanya dirimu yang ada di hatiku
Namun sekarang aku mengerti
Tak perlu ku menunggu sebuah cinta yang sama

Sekarang aku tersadar
Cinta yang ku tunggu tak kunjung datang
Apalah arti aku menunggu
Bila kamu tak (pernah) cinta lagi
Sekarang aku tersadar
Cinta yang ku tunggu tak kunjung datang
Apalah arti aku menunggu
Bila kamu tak (pernah) cinta lagi



Kamis, 16 Agustus 2012

Awal dari Suatu Akhir


Semuanya berawal dari malam ini, waktu ini.  Suatu perjuangan yang menurut kebanyakan orang yang sudah pernah melewati fase ini, dianggap sebagai yang terberat.  Namun demikian tanpa menyerah mereka berusaha menuntaskan apa yang telah mereka mulai.  Perjuangan dan pengorbanan (waktu dan fikiran serta tenaga) selama empat tahun sungguh saying mesti berakhir sia-sia.  Memang, banyak orang yang sukses meski tanpa gelar akademis resmi.  Contohnya? Banyak!  Dua pendiri perusahaan komputer terbesar di dunia misalnya, Bill Gates dan Steve Jobs.  Tapi apakah tanpa gelar menjamin kita menjadi seperti kedua oran hebat tersebut?  Meski tnpa gelar mereka berbekal pengetahuan dan kemampuan yang mumpuni.  Sedang kita?  Meski secara teori sangat mungkin kita mampu menggawangi profess tertentu tanpa pendidikan formal, namun hari gini pendidikan formal cenderung digaungka.  Demi selembar ijazah saja banyak oknum yang sampai hati menciderai pendidikan nasional.  UN terutama  kecurangan dimana-mana hanya demi memunculkan angka yang diaggap sempurna pada elembar ijazah.  Bahkan, bai yang telah mapan, tak sedikit yan engadakan jual-beli ijazah. Uppss…cukup melanturnya, mari kembali ke pokok bahasan.  Nah, dri mulai mala mini penulisakan berusaha semampu penuisuntuk konsisten dalam mengerjakan proyek terbesar sepanjang perjalanan studi penulis di Universitas.  Sejak malam ini hingga (mudah-mudahan berakhir di) akhir tahun ini, penulis akan mencoba fokus menyelesaikan tantangan terberat menuju gerbang ‘kebebasan’.  Bukan semata demi merih ijazah, ebih jauh sebagai pembuktian dan sebagai penyelesaian dari apa yang telah kita mulai.  Penulis sadar bahwa dibutuhnkan perjuangan yang tidak mudah untuk menyelesaikan ‘karya’ penulis ini.  Namun, dengan keyakinan dan erja keras, penulis pun yakin akan bis melewati fase ini engan lancer dan (tentu saja) sukses.  Maka dari itu, dengan megucap bismillahirrahmaanirrahiim misi penulis untuk menyelesaikan ‘karya’ pamungkas penulis di tingkat S1 ini dimulai! 

nb: penulis bakal meg-up dateperkembangan tiap bab-nya disini, I'm swear!

Jumat, 10 Agustus 2012

Kisah si Ibu


Makin hari, makin banyak aja yang brekelakar kalau penulis ini udah kayak ibu-ibu dalam makna denotatif.  Aihh..iya kali semua orang juga bakal mengalamifase itu walau ada beberapa yang hanya bisa mendapat pangilan itu tanpa merasakan peran yang sesungguhnya.  Hem..kembali ke penulis.  Selalu ada ibroh ya dibalik berbagai hal. Dalam hal ini, alih-alih ambil pusing sama sisi yang berlawanan dengan angka plus—anggapan kalau penulis makin terlihat matang (baca: berumur)—penulis sih cenderung mengambil sisi positifnya ya: sepakat kalau peulis sudah layak mendampingi dan didampingi seseorang.  Seriusan?  Ya kan, itu mungkin hikmah positifnya.  Ya, kalau iya, amiinkan saja.  Toh itu do’a yang positif.  Bosen juga ya melulu dikatain mirip ibu-ibu, yang artinya menyerupai, bukan iya jadi ibu-ibu.  Kan, enak bener adi ibu-ibu sekalian, ibu yang berpasangan dengan si Bapak.  Ya, gapapa deh jadi Ibu yang berembel-embel semacamibu guru dulu.  Itu ka nada Bapak guru sebagai pasangan.  Wehehe.  Udah ahh…ini sih Cuma sekedar intermezzo yang gak begitu penting.  Cuma intinya, kalau iya udah mantes jadi ibu-ibu ya semoga status itu buka sekedar panggilan, tapi relaitanya juga memang segera menjadi status. Semoga. #eehh  J

Kamu, kamu, kamu!











Kamu, kamu, kamu!
Aisshh….sebegitu lunakkah engkau sampai-sampai bisa diobral?
Kenapa engkau kerap kali muncul?
Hampir setiap hari malah,
Menggangguku saja!
Sudah, aku mengaku, aku sadar betul,
Memang bukan…aahh..bukan bukan, tapi belum.
Belum nasibku untuk menjadi bagian darimu.
Tentu bukan salahmu, bukan!
Ya, kau ini apalah bisa menentukan nasib seseorang.
Kau kan….ahh…kau…. rasanya tak perlu ku lanjutkan.
Tapi mengapa engkau selalu hadir seakan menggodaku.
Padahal kau tahu aku begitu menggilaimu,
Meski tak..ahh..belum mampu menggapaimu. Mengapa?
Sudahlah kumohon jangan godai aku lagi.
Batinku bisa memekik bila kau melulu menggodaku.
Meski hanya secara visual, meski hanya lewat serentetan gambar.
Oh, sungguh berhentilah sekaran gjuga! Kumohon..
Entah bagaimana nasib membawaku.
Apakah aku tak berkesempatan menjadi bagian darimu,
Atau harus cukup puas untuk sekali-dua saja menikmati buaianmu.
Ohh…biarlah sang waktu yang menjelaskan segala jawaban.
Dan jawaban itu merupakan takdir yang nyata bagiku, nantinya.
Bagiku dan tentangmu, tentang kita.


Jumat, 03 Agustus 2012

Tragedi London 2012: Ketika Bulu Tangkis Indonesia Berada di Titik Nadir


SELAMATKAN BULUTANGKIS INDONESIA!

“Prestasi Angkat Besi dan Aib Bulu Tangkis”

#MiriSedih membaca judul satu tayangan programdi salah satu TV Berita swasta.  Iya di satu pihak sebagai penggemar olah raga netral dan rakyat Indonesia penulis harus sepakat bahkan tersenyum simpul ketika membaca judul tersebut di lama mikroblogging; tapi sebagai pecinta dan pengikut kejuaraan bulu tangkis (khususnya atlet tanah air) penulis erasa itu JLEB BANGET, nusuk BGT sampe ke tualng-tulang!  Iya, gimana bahasanya aib, yang mungkin itu pun sudah salah satu istilah yang diperhalus..

Kekalahan Owi/Butet atas Xu Chen/Ma Jin seharri setelah insiden diskualifikasi Geysia Polii/Meiliana Jauhari seakan menggenapkan keapesan PBSI.  Hasil ini sebetulnya hanya pelengkap dari serangkaian prestasi minor yang ditorehkan para pemain Indonesia di berbagai ajang dan level kejuaraan pada era kepengurusan PBSI di bawah pimpinan yang sekarang *ogah sebut merek*.  Karena sebenarnya tanda-tanda ketidakberesan ini telah terlihat jauh sebelumnya, semenjak pemecatan dan pengunduran diri atlet papan atas dari PBSI, dua ajang Indonesia Open, Final Super Series, hingga yang masih hangat tentu saja kegagaltotalan tim Indonesia di ajang bergengsi Thomas-Uber Cup.  Sudah tim Uber hampir-hampiran tidak lolos ke babak utama, ehh..Tim Thomas untuk pertama kalinya sepnjang sejarah gagal melaju kefase Semi Final.  Masalahnya dimana? Pemain? Pelatih? Atau di pembinaan dan pengurus?

Jarang sih yang menyudutkan pemain dan pelatih karena ya bagaimanapun prestasi mereka selain berasal dari skill individu dan motivasi pribadi yang bersifat internal, juga mesti ditunjang oleh dukungan dari factor eksternal semisal pembinaan yang baik (regenarasi dan peningkatan jumlah jam terbang), perhatian yang mumpuni (dalam hal ini terutama fasilitas fisik dan jaminan kesejahteraan baik di dalam maupun luar kompetisi).  Oke, pemain pun ada andilnya terutama dari segi mental dan stamina.  Ini dua PR utama yang sekaligus jadi momok bagi kebanyakan atlet kita.  Kan tidak jarang sudah unggul jauh bisa terpangkas bahkan beberapa kali terkejar oleh lawan, hal yang rada mustahil dilakukan oleh atlet kita.  Nah, tapi balik lagi, pengurus juga berperan besar dalam membina mental dan fisik pemain.  Caranya? Digenjot lewat berbagai program latihan misalnya. 

Sekarang kalau para pengurus berdalih, sudah…sudah…nah, buktinya mana? Kan bukan sekali dua kali ketika gelar sudah di depan mata musti terlepas begitu saja karena kalah stamina sampai poinnya ketinggalan jauh di set ketiga, aatu bahkan memberikan poin percuma setelah banjir error dalam kondisi tertekan.  Kalau saja PBSI berbesar hati untuk berbenah diri setidaknya tidak egois dengan hanya mementingkan diri sendiri sehingga enggan melepaskan dii dari jabatan pengurus dengan hasil minor betubi-tubi, mungkin target mempertahankan tradisi emas bisa saja terwujud.  Tapi, mungin kegagalan dan kasus ini di sisi lain memberikan hikmah tersendiri yakni agar masyarakat sadar bahwa olah raga kebanggannya kini tengah berada di titik nadir.  Dan, lebih jauh kesadaran masyarakat ini mendorong gelombang ‘masukan’ bagi PBSI agar segera melakukan evaluasi besar-besaran.  Dan, yang terpenting jangan sampai evaluasi itu hanya berhenti di tahap sekedar WACANA.

Kita, masyarakat negeri ini, sudah terlalu lama dibiarkan kecewa, menanti prestasi yang tak kunjung membaik.  Memang dalam sejumlah event masih ada saja atlet kita yang mengharumkan nama bangsa, seperti pasangan Ow/Butet yang berhasil mengakhiri paceklik gelar All England.  Tapi, kalau dirunut lagi itu memang sudah dasar atletya mumpuni, bukan semata-mata kesuksesan PBSI.  Toh, beberapa kali terungkap adanya keluhan mengenai minimnya fasilitas dan lain-lain dari para penghuni Pelatnas Cipayung.  Sampai kapan kita dibiarkan menunggu untuk lagi-lagi dikecewakan kesekian kalinya? Ayolah, wahai para pengurus PBSI yang terhormat, jangan egois.  Yuk, evaluasi sejauh mana keberhasilan kinerja Anda-Anda.  Toh, PBSI ini bukan parpol yang meti dimonopoli.  Jika sudah tak sanggup, tolong berikan kesempatan pada yang lain untuk mengurusinya.  Ya, siapa tahu dengan begitu akan ada pencerahan bagi Bulu Tangkis Indonesia.  Akan ada kebangkitan kembali dari cabor yang tengah berada di titik nadir ini, nama Indonesia kembali disegani di kancah bulu tangkis internasional.  Semua itu bisa terwujud jika ada sinergisits antara para pengurus, atlet, pelath, pemerintah dan tentu saja masyarakat Indonesia itu sendiri.  Tapi, PBSI, sekali lagi itu dimulai dari organisasi yang Anda naungi.  Jadi, yuk, lakukan pembenahan dan bahkan (jika perlu) perombakan total, demi bulu tangkis Indonesia yang lebih baik. STOP WACANA, IT’S ACTION TIME!