Selasa, 31 Juli 2012

Olimpiade London: Medali Perdana dari Angkat Besi



Akhirnya telur Indonesia pecah juga di Olimpiade London ini!  Eko Yuli dari cabang Angkat besi nomor 62 Kg Putra berhasil mempersembahkan perunggu bagi kontingen Indonesia.  Bersaing ketat dengan atlet Korea Utara, Kim Ong Guk,  di angkatan Snatch, di angkatan Clean & Jerk ia harus merelakan tertahan di posisi kedua.  Kim Ong Guk pada perlombaan kali ini menguasai jalalnnya pertandingan.  Bahkan luar biasanya ia memecahkan rekor olimpiade baik di angkatan snatch maupun clean & jerk.  Sebenarnya Eko Yuli sempat lama berada di posisi kedua sebelum di menit-menit terakhir, atlet Kolombia, Oscar, berhasil melakukan angkatan clean & jerk 177 Kg sehingga total poin akhirnya menyamai Eko Yuli, 217 kg.  Namun, Oscar yang unggul di beban angkatan Clean & Jerk secara otomatis menggeser posisi Eko Yuli ke peringkat tiga.  Beruntung, lifter China sekaligus juara dunia, gagal dalam dua angkatan Clean & Jerk terakhir.  Padahal, jika ia berhasil, ia akan merangsek ke posisi dua dibawah lifter Korea Utara yang sudah tak terkejar.  Dan, berida duka bagi publik tanah air bahwa lifter andalan Indonesia mesti terlempar di posisi 4.  Makanya, kegagalan lifter Cina disyukuri oleh kontingen Indonesia dan Kolombia.  Dengan raihan posisi ketiga, peraih emas SEA GAMES ini berhasil menyumbangkan emas pertama bagi kontingen Indonesia.  Dengan demikian, dari empat lifter yang berlaga, cabang angkat besi ini berhasil menyumbang satu medali.

POTENSI EKO YULI
Usia Eko Yuli yang baru menginjak 23 tahun diharapkan bisa menjadi genjotan baginya untuk membukukan hasil yang lebih baik di Olimpiade 2016 mendatang.  Dengan potensi dan usia mudanya bukan tidak mungkin bila ke depannya Eko bisa mempersembahkan emas.  Kan, cabang ini bersama bulu tangkis selalu menjadi cabang potensial dan langganan penyumbang medali bagi kontingen Indonesia di berbagai multievent internasional.  ya, paling tidak medali emas ASIAN GAMES harus masuk dalam buruannya sebelum meraih emas olimpiade.  tapi tentu tidak akan mudah mengingat saingannya adalah seorang Kim Ong Guk dan juga lifter Cina yang masing-masing berstatus juara Olimpiade dan juara dunia.  Namun, sekali lagi Eko Yuli dengan potensi dan usia mudanya sangat berpotensi menembus posisi teratas di level ASIA bahkan dunia.  Tinggal kini bagaimana konsistensi dan pembenahan angkatan hingga ia pun bukan sekedar merangsek ke posisi teratas, tapi juga sekaligus memecahkan rekor Asia dan dunia tersebut.  GO EKO YULI!

Prestasi Cabor Angkat Besi di Olimpiade London
Secara keseluruhan, cabang angkat besi telah memberikan yang terbaik.  Sekalipun tiga lifter lainnya, masing-masing Jadi Setiadi, Citra Febrianti, dan Muhamad Hasabi belum berhasil menyumbang medali, tapi paling tidak ketiganya telah memberikan yang terbaik.  Jadi Setiadi misalnya berhasil menempati standing di posisi kedua grup.  Sayang, grup lainnya lebih tangguh sehingga ia tergeser dari jajaran peraih medali.  Pun dengan Muhammad Hasabi yang bertanding di kelas yang sama dengan Eko Yuli.  Ia yang berada di grup B yang bertanding lebih dahulu dari grup A, tempat Eko Yuli berada, sebenarnya berhasil menjadi yang teratas di grup-nya.  Sayang ketangguhan para lifter di grup A melemparnya ke posisi 6 di klasmen akhir.  Adapun nasib satu-satunya lifter putri yang berlaga di kelas 53 kg, harus puas berada di posisi 5 klasmen akhir.  Nah, menilik hasil tersebut, tentu tidak bisa dibilang kalau hasil yang dibukukan oleh cabor angkat besi ini kurang memuaskan.  Apalagi masih ada peluang medali dari lifter Deni dan Triyatno yang sama-sama berlaga di kelas 59Kg.  semoga masih ada tambahan medali dari cabang ini.  Bagi penulis pribadi ya, melihat usaha para atlet Indonesia, ya inilah yang terbaik untuk saat ini.  Adapun harapan ke depannya, tentu saja ya minimal tiga perunggu di olimpiade ini.  Bisa, penulis yakin,  asal pembinaannya baik dan para atletnya konsisten serta disiplin.  Tidak ada yang tidak mungkin di dunia ini, kan? GO INDONESIA GO!

Catatan Ramadhan 1433 H: Fenomena Ramadhan


https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhYTjOSAyDalxbcgBPn8gNlqYiBhvMDF5U4ZH591kEHemR3clt71VRRjk5KHK9aaixmowTDzuVUJKkUOCmKaAld44RViJr7YoWGqDcpN3M5K0uqT9YqKSsgzBlOwcUOpwjzA8SZBqEaKao/s400/Foto030.jpg

Ramadhan yang hanya berlangsung selama 29-30 hari saja umumnya berlangsung semarak.  Semarak disini maksudnya dipenuhi berbagai hal yang khas, baik bersifat konkrit seperti makanan dan jumlah jamaah di masjid-masjid ataupun abstrak seperti suasana.  Makanan, hampir setiap sore berbagai titik keramaian biasa dijejali oleh berbagai pedagang makanan yang menjual berbagai penganan khas Ramadhan semacam kolak hingga jajanan biasa seperti kue-kuean, goreng-gorengan, dll.  Jamaah masjid.  Yah, selayaknya angkutan umum yang jumlah penumpangnya melonjak hingga berkali lipat di masa mudik, nah begitupun masjid-masjid ini, yang biasanya Cuma 1-2 shaf bisa berlipat hingaa 4-6 shaf, bahkan di awal-awal sampai banyak yang tidak kebagian lapak.  Nah, itu sih fenomena umum ya.  Sekarang yang ingin penulis bahas lebih ke fenomena-fenomena (yang menurut penulis pribadi a.k.a IMO) unik di bulan seribu bulan ini.  Nah, biar gak pusing bagi para opengunjung yang kebetulan mampir dan baca artikel ini, penulis akan memaparkannya dalam bentuk poin per poin.

# Seni Menanti Bedug: Nikmatnya Berbuka

Bedug, tabuhannya  yang di hari biasa pun sering terdengar menjadi momen yang paling dinantikan oleh seluruh muslim yang menjalankan ibadah Shaum Ramadhan.  Ya, bagaimana tidak, kan setelah selama lebih dari 12 jam menahan lapar dan dahaga, suara bedug maghrib menjadi start untuk kembali menjejali lambung kita dengan berbagai serpihan makanan, bahan bakar untuk kerja lambung kita lah.  Nah, karena itu pula momen berbuka jadi momen yang paling nikmat….bagi yang shaum.  Kalau yang gak shaum?  Jangan mungkirin kata hati lah, sengerasa nikmat apa maksa buat menikmati buka bak orang shaum, penulis sih yakin ya mereka yang semestinya shaum tapi karena berbagai hal yang tidak syar’i nan urgen lebih milih tetap makan minum atau sekedar merokok di tengah hari saat muslim lainnya tengah berjuang menahan perut yang keroncongan, tenggorokan dan bibir yang kering, kalopun iya bisa menikmati, kadar kenikmatannya jauh dibawah mereka yang shaum.  Buka puasa mungkin tak ubahnya makan malam kepagian buat mereka, nah buat yang shaum ya semacam makanan pembuka sebelum santap malam.  Dan karena membuka setelah sekian lama vakum dari makanan dan minuman, ya nikmatnya luar biasa.  Pokoknya gak ada yang lebih nikmat dari berbuka puasa.  Saking nikmatnya, jenis penganan berbuka menjadi tidak lebih penting dari momen bukanya itu sendiri.  Kalaupun kebetulan makanannya juga lebih dari sekedar nikmat…ya itu mah bonus..paket spesial.  Nih ya sekali lagi, semua kenikmatan ini perlu dicatat hanya berlaku 100% untuk mereka yang shaum, yang enggak….ya kalau misalkan pas penulis lagi gak shaum karena emanang dilarang sama agama sih biasa aja…gak tau ya buat yang menyengajakan tidak shaum (di luar mereka yang non muslim ya, itu mah lain soal, mereka kan tidak ada tuntutan buat shaum). 

# Semarak Berhijab
Apakah ada di antara pengunjung yang budiman termasuk anggota hijabers?  Ya, terlepas dari atau tidak, hijabers kini menjadi fenomena tersendiri khususnya di kalangan fesyen muslimah.  Semenjak hingar binger hijabers, nampaknya semakin banyak yang tertarik (entah ya termasuk tergerak hatinya atau tidak, wallahu’alam) untuk membungkus bagian kepalanya (umum dikenal—bukan berarti dimaknai—dengan   berhijab).  Satu tren positif sebenarya, dari sudut pandang dakwah.  Ya, masalah kaffah atau tidak biarlah itu menjadi urusan personal yang bersangkutan dengan sang Maha Mengetahui.  Toh kita ini Cuma bisa sekadar memberi pendapat dan tidak layak memberikan penghakiman, sama-sama makhluk.  Hey, let’s move on.  Nah, biasanya di bulan Ramadhan ini biasanya kuantitas hijabers—meminjam istilah komunitas hijabers, mengacu pada mereka yang mengkerudungi kepala mereka dan lebih menutupi aurat mereka—meningkat cukup signifikan.  Ada yang sekedar berhijab khusus di bulan suci ini saja, atau syukur-syukur yang istiqamah untuk terus berhijab.  Adem kan ya rasanya melihat para hijabers berkeliaran di banyak tempat selama Ramadhan ini.  Subhanallah.

# Toleransi di Bulan Ramadhan


Nah, sekarang mengacu pada kedua poin di atas, sebenarnya hal yang sangat ingin penulis soroti disini ialah perihal toleransi.  Dan, toleransi disini berkaitan dengan dua poin di atas.  Masalah makan dan makanan serta berbusana.  Maaf, sebelumnya maaf, ini hanya artikel pribadi yang berisi pandangan pribadi penulis berdasarkan pengamatan pribadi penulis terhadp kedua fenomena di atas selama beberapa tahun trakhir *ceileeh*.  Nah, pertama perial makanan dan makan atau aktivitas apapun yang bersifat membatalkan shaum.  Tidak jarang penulis mendapati orang yang asik saja merokok di siang bolong atau bahkan tanpa sungkan nongkrong di warung nasi pinggir jalan.  Ataupun sekedar menegak minuman dingin yang justru jauh lebih menggoda daripada makan di siang bolong.  Oke, sekali lagi konteksnya disini ialah bagi sesama muslim ya, bukan yang non muslim.  Miris sih kadang, sebegitu addict-nya sampai tidak bisa tidak menghisap rokok barang 12 jam.  Tapi, yasudahlah, mungkin mereka punya alasan kuat tersendiri, masalah keyakinan barangkali (keyakinan disini bukan bersifat kepercayaan terhadap satu agama tapi lebih pada ideologi).  Ahh..sekali lagi penulis sebagaimanusia biasa tidak berhak menghakimi bahwa mereka salah, dosa, dll.  Yang jelas sepemahaman penulis mereka yang makan minum merokok di siang hari itu berarti tidak shaum.  Gak berani ya penulis bilang itu batal, kan belum tentu juga mereka berniat shaum.  Apa kalau tidak niat bisa dibilang batal?  Lagipula toh sekadar makanan atau minuman tidak begitu menggoda bagi sebagian besar mereka yang shaum.

Kedua, perihal berbusana.  Ini nih yang bagi penulis lebih berpotensi menggoda iman di bulan ramadhan ini.  Heran deh, selain hijabers yang menjamur, penulis fikir, banyak yang walaupun tidak berhijab tapi setidaknya rada membatasi bagian tubuh yang bisa dinikmati oleh banyak mata dengan bebas.  Ya, kasarnya tidak terlalu buka-bukaan.  Terlalu naïf memang karena pada kenyataannya masih banyak kok mereka yang masih serba terbuka.  Dan, untuk yang ini penulis sih menyoroti semua kalangan.  Tapi lebih khusus lagi-lagi bagi para muslimah dan terutama lagi publik figur.  Beberapa kali penulis menyaksikan acara televise di bulan Ramadhan ini, alhamdulillah sudah banyak penampil yang kalaupun mengenakan dress di atas lutut, mereka melapisi kaki jenjang nan mulusnya dengan lagging.  Tapi sayangnya masih ada saja, bahkan lumayan banyak yah para penampil yang masih entah belum mengerti atau bahkan tidak peduli untuk lebih ‘sopan’ dalam berbusana.  Mereka kan masalahnya menjadi sorotan.  Okelah kalau orang biasa impact-nya untuk sekitar saja.  Nah, kalau tokoh terkenal kan blow-up-an media bisa bikin impact-nya menasional bahkan men-global.  Oke, tidak semua penampil seorang muslim, tapi atas nama toleransi sepertinya berusaha untuk sedikit saja lebih tertutup di bulan suci ini harus otomatis diagendakan oleh para publik figur tersebut.  Akan tetapi, kalau diurai sepertinya semua balik lagi ke kesadaran dan respek pribadi masing-masing penampil tersebut plus kecermatan manajemen demi menjaga image anak asuhnya. 

Nah, berkaca pada dua fenomena di atas akarnya sebenanrnya satu: TOLERANSI.  Itu tuh materi wajib dan pokoknya mata pelajaran Kewarganegaraan yang bahkan masih dipelajari hingga di bangku kuliah.  Saking pentingnya demi pembentukan karakter bangsa demi terwujudnya bangsa berkarakter sebagai pembangun bangsa ini ke depannya.  Penting juga mengingat negeri kita kan saking tolerannya memiliki lebih dari lima kepercayaan resmi yang diakui negara.  Ya, kalau kita tidak dijejali toleransi, kebayang ya di tengah puluhan bahkan ratusan suku dengan beragam bahasa dan dialek plus keragaman budaya dan agama, hem…mungkin eksistensi negeri ini hanya sumur jagung, kemerdekaan tidak akan pernah terwujud, kalaupun iya ya seumur jagung juga wong bangsanya saling sikut satu sama lain.  Ini nih perbedaan sering kali jadi biang kerok konflik dimanapun, dan malangnya ia pun sering kali dijadikan kambing hitam dalam banyak perihal.  Padahal kalau toleransi tadi dijadikan penengah dan semuanya konsisten dengan toleransi tersebut ya perbedaan justru menjadi satu keunggulan.  Kan yang bikin Indonesia dikenal salah satunya keragaman budaya dan hayati-nya.  kembali ke pokok pembahasan, pertanyaannya jika dua fenomena di atas yang terjadi apa iya toleransi masih terpelihara?  Jatuhnya ini bak sebuah PARADOKS.  Ketika toleransi diagung-agungkan, ehh…justru manusianya yang tidak bisa toleran.  kalau begini, meminjam lirik lagunya raisa “apalah arti toleransi…bila hanya sekedar kata-kata.”

Sabtu, 28 Juli 2012

London Olympic 2012




“Reject doping; Respect your Proponents; Remember that you are the role model for next generation”

Tidak terasa, beberapa jam yang lalu pembukaan Olimpiade London baru saja berlangsung, jum’at malam waktu setempat dan sabtu dini hari waktu Indonesia.  Berlangsung di Olympic Stadium, Olympic Park (kawasan Stamford), upacara pembukaan berlangsung meriah. Sekitar 12.000 atlet dari 144 negara ambil bagian untuk memperebutkan medali dari 29 cabang olah raga (cabor) di 29 nomor.  Negara-negara langganan juara seperti Cina dan AS kemungkinan besar masih akan merajai Olimpiade ini.  Keduanya masih akan bersaing ketat di papan atas dalam perolehan medali.  Korea Selatan, Jepang dan Rusia membuntuti agak di belakang.  Ya, di luar dua negara pertama tadi, kalaupun menduduki posisi lima teratas selisih medali emasnya akan cukup jauh dengan dua posisi teratas.  Bahkan kurang dari sepuluh medali pun biasanya bisa masuk ke belasan atau bahkan sepuluh besar.  Hal ini menunjukkan bahwa banyaknya negara yang ambil bagian membuat negara yang belum semapan negara penghuni papan atas harus rela berbagi dengan negara-negara lainnya.  Kalau Cina bisa merajai di hampir seluruh cabor, negara lain sih biasanya hanya merajai di beberapa atau bahkan satu cabor saja.  Tapi, namanya Olimpiade, satu emas saja sudah berarti daripada tidak sama sekali.  Bagaimana dengan peluang Indonesia sendiri?

Seperti yang sudah-sudah, Indonesia turut berpartisipasi dengan mengirimkan  22 atlet dari  8 cabang olah raga (cabor).  Tidak ada target muluk yang dicanangkan KONI-KOI mengingat persaingan yang sangat ketat dengaa ratusan negara lainnya.  Namun, target minimal  menyamai prestasi Olimpiade sebelumnya tentu ada.  Di Olimpiade Beijing lalu, Indonesia mendulang satu emas dari cabor bulu tangkis melalui pasangan Markis Kido/Hendra Setiawan di nomor Ganda Putra.  Prestasi tersebut mengulang sukses emas Olimpiade Athena, 4 tahun sebelumnya, dimana Taufik Hidayat di nomor Tunggal Putra juga berhasil menyumbang satu emas.  Prestasi terus berulang dan sudah menjadi tradisi sejak Olimpide Barcelona tahun 1992 silam.  Kala itu, bulu tangkis untuk pertama kalinya dipertandingkan di ajang Olimpiade.  Dan, pasangan suami istri Susi Susanti dan Alan Budi Kusuma sama-sama berhasil mendulang emas.  Tidak heran kalau kemudian pasangan ini dijuluki pasangan olimpiade. 

Nah, kini target satu emas sudah barang tentu menjadi target paling realistis yang dicanangkan di Olimpiade tahun ini.  Kalau gagal, ya otomatis terjadi penurunan prestasi di kontingen Indonesia.  Bulu tangkis pun kemabli menjadi cabor andalan untuk mendulang emas.  Dan, peluang terbesar ada di pasangan Ganda Campuran, Tontowi Ahmad/Liliyana Natsir.  Akan tetapi bisa dipastikan bahwa jalan pasangan juara All England 2012 ini untuk mencapai partai puncak tidak akan mudah.  Ada pasangan Korea, jerman, dan Denmark yang harus mereka hadapi di babak penyisihan.  Belum lagi jika lolos, besar kemungkinan berhadapan langsung dengan unggulan pertama Zhang Nan/Zhao Yunlei.  Kesiapan mental, stamina, dan konsistensi akan menjaid kunci utama.  Apalagi, mereka pun sempat menyerah dari pasangan Thailand di final DIOPSS Juni lalu.  Persaingan yang ketat dan hasil pertandingan terakhir mereka memang sedikit menggoyahkan keyakinan beberapa pihak, termasuk penulis.  Namun, semoga dengan dukungan penuh bangsa ini, emas bisa dipertahankan dari cabor ini, dan bahkan bertambah.

Oleh karena itu Melihat jumlah pesaing yang lebih dari sekedar banyak dan minimnya jumlah atlet yang lolos ke Olimpiade, membuat pengurus KONI dan KOI tidak heran bila sebagaimana disinggung di atas bahwa tidak memasang target muluk, bahkan malah cenderung pragmatis.  Berapa pun dan medali apa pun yang diraih Indonesia, minimal dari klasmen perolehan medali akhir nantinya bisa berada di atas negara ASEAN lainnya macam Thailand, Malaysia, dan Vietnam yang seringkali bersaing ketat di level SEA GAMES.  Ya, apa pun ahsilnya nanti yang jelas semoga para pahlawan bangsa ini bisa berjuang mengerahkan segenap kemampuan dan semangatnya untuk memepersembahak yang terbaik bagi bangsa ini.  Semoga kumandang ‘Indonesia Raya’ dan kibaran sang saka Merah Putih bisa terdengar dan terkihat di Olympic Stadium Arena.  Ayo, INDONESIA BISA! J



What a Spectacular Opening Show of London Olympic!
Dari sekian suguhan yang terpapar di layar (ya nasib masih Cuma bisa liat lewat layar kaca doang), sebenarnya yang dinanti-nanti dari opening pesta olah raga sejenis itu kalau bagi penulis ada dua: pawai negara peserta dan penyulutan obor. 

Untuk yang pertama, penulis sangat suka memperhatikan gaya para atlet yang seolah berjalan di karpet merah-nya olimpiade.  Biasa berkaos dan berkeringat, nah di ajang opening ini biasanya kalau tidak berjas (lengkap dengan kemeja atau dress), ada beberapa negara yang gemar memamerkan kostum tradisionalnya.  Apalagi kadang si atlet ada yang melenggok bak model, lurus-lurus aja, atau malah jadi ajang gila-gilaan.  Selain itu kita juga bisa mendeteksi beberapa negara yang selama ini terasa asing di telinga, macam negara-negara kecil di pasifik sana, plus dengan bendera-bernderanya.  Sangat membantu untuk pelajaran Geografi deh.

Nah, yang penulis respek dari kebanyakan negara yang berlaga di karpet merah-nya Olimpiade ini adalah bahwa mereka bisa berdandan dengan rapi dan berterima.  Ada banyak negara yang biasa lekat dengan image seksi bagi para perempuannya justru rata-rata kalaupun mengenakan rok, dirancang selutut.  Jadi serasa bersahaja.  Sayang, masih ada saja beberapa negara yang seolah sayang tidak mengumbar bagian paha, termasuk yang mengejutkan negara tetangga serumpun kita, Kamboja.  Tapi syukurlah tidak seekstrim Panama yang sudah merah, ehh…belahan dadanya dibiarkan menjadi tontonan, gimana tidak menggoda mata (asal jangan samapi menggoda iman aja ya..hehe). 

Lalu, ada pula beberapa negara yang masih berseragam formal tapi lebih santai, seperti Serbia.  Dipimpin Novak Djokovic sebagai pembawa bendera, rombongan negara pecahan Yugoslavia ini mengenakan sweater sebagai atasan.  Kesan muda dan segar jadi terpancar (apalagi dari seorang Djokovic…heu).  Tapi, the best costume buat penulis goes to Poland!  It’s so subjective from woman’s view ya, dress atlet perempuannya yang memadukan warna putih merah dengan aksen bunga di bagian bawah dibalut kemeja itu so sweet and elegant IMO.  Bagaimana dengan kostum Indonesia?

Indonesia, hemm…karena hanya disorot sekilas, ya gak begitu jelas sih ya terutama yang putri.  kalau yang putra, setelan jas blazer merah biasa dipadu celana…hitam apa putih ya?  Kilat banget sih tadi.  Untuk putrinya sekilas tadi keliatan kayak pake long dress gitu nuansa meh Cuma motifnya kurang jelas, kemungkinan batik sih.  Ya, kalau diamati dan dibandingkan hampir mirip sama kostum Malaysia, bedanya mereka seperti biasa kuning bermotif loreng-nya harimau.  Ngomong-ngomong soal Indonesia tadi pas disorot itu bener-bener sekilas asli tok sekilas.  Cuma I Gede Sudartawa sebagai pembawa bendera aja yang disosorot jelas.  Kontingen Indonesia yang berlaga di karpet merah secara keseluruhan juga tidak sempat terekam kamera.  Kan sepertinya ada diskriminasi porsi nih sama negara-negara lain yang sekalipun jumlah kontingennya lebih sedikit, durasi penyorotannya sedikit lebih lama.  Entahlan, entah ini hanya perasaan subjektif dari penulis yang warga negaranya. 

Beralih ke yang kedua, penyulutan obor.  Ini nih yang paling ditunggu-tunggu penulis sebenarnya.  Selalu ada kejutan di tiap perhelatannya.  Ada yang terbang, ada yang pake panah, nah sekarang pake apa ya?  Setelah dibawa menyusuri Sungat Tames dengan boat yang dikendarai David Beckham, akhrinya si obor diserahkan pada Sir Steve Redgrave, peraih lima medali emas dari cabang dayung yang membawanya menyusuri Olympic Stadium.  Sesampainya disana, si obor diserahkan pada lima apa enam orang ‘pasukan’ yang masing-masing memegang obor untuk menyulutkannya pada cauldron, yang tadi dibawa sama anak-anak yang mengiringi masing-masing kontingen (berarti ada 114 harusnya).  Dari enam cauldron, lalu menyebar ke seluruh cauldron hingga tersulut apai semua.  Sudah usaikah? Belum!  Ini puncaknya, pas tiba-tiba si cauldron-cauldron itu naik, bangkit, dan akhirnya berdiri dan bersatu membentuk kuncup bunga.  Sebuah cauldron raksasa pun tercipta.  Dan resmilah pembukaan Olimpiade London 2012 ini.  Cuma satu kata setelahnya: SPECTACULAR!  Cuma dan harus bilang WOW!  

Kamis, 26 Juli 2012

CATATAN RAMADHAN 1

Marhaban Yaa Ramadhan 

http://fitrahmp.files.wordpress.com/2012/07/marhaban-yaa-ramadhan.png?w=604&h=453



Seperti yang sudah-sudah, kehadiran bulan yang hanya datang sekali di tiap tahunnya ini senantiasa dinantikan hampir seluruh umat muslim di segala penjuru dunia.  Ada kerinduan yang teramat sangat akan hadirnya.  Dibalut kesukacitaan saat menyambutnya dan kesedihan yang menyertai kepergiannya.  Sebegitu dalamnya segala kenangan tentangmu membekas di hati hampir setiap umat muslim seluruh dunia ini, ya Ramadhan. 

Ramadhan, mungkin engkau hanya muncul satu kali saja dari dua belas bulan lainnya, namun engkau selalu memiliki tempat spesial sendiri di hati setiap muslim.  Sebagaimana keutamaanmu yang melebihi dari seribu bulan, nuansa kesyahduan dan kebersamaan di bulan ini pun tidak tergantikan.   Selalu ada cerita dan kesan tersendiri di bulan ini. 

Kebersamaan menjadi salah satu kekhasan pertama.  Sesibuk apapun, sejauh apa pun jarak yang membentang, tidak menjadi  halangan bagi sebagian besar orang utnuk menyempatkan berpuasa pertama bersama keluarga tercinta.  Paling tidak ya menyempatkan sekadar buka atau makan sahur bersama di tengah kepadatan aktivitas.  Ya, bulan ini kan bulannya kebersamaan.  Selain itu kan banyak diantara kita yang menyempatkan diri sedemikian rupa supaya bisa berbuka bersama orang-orang terdekat selain keluarga, seperti sahabat atau bahkan rekan kerja.  Padahal kan di bulan lainnya, boro-boro kita punya waktu buat sekedar bertatap muka.  Malah, kadang merea yang sudah berpisah bertahun-tahun dan tidak ada komunikasi bisa tiba-tiba berjumpa untuk sekedar buka bersama di bulan ini.

Hangatnya suasana menjelang maghrib hingga subuh menjadi kekhasan lain dari bulan ini.  Jika biasanya pusat aktivitas akan berakhir menjelang maghrib, sebaliknya di bulan Ramadhan ia seperti menjadi awalannya.  Jika di bulan-bulan lainnya, suasana menjadi sepi saat maghrib, nah di Ramadhan maghrib justru semarak.  Jika kemarin-kemarin maghrib disambut biasa saja bahkan bagi sebagian kecil orang tidak ingin segera bertemu, malahan sekarang semua orang muslim yang menjalankannya menanti-nanti bunyi bedug dan kumandang adzannya.  Bak malam ahad, semakin malam suasana semakin ramai.  Terutama di masjid-masjid.  Ya, bila biasanya masjid hanya terisi 1-2 shaf, tapi di bulan Ramadhan biasanya penuh sesak terutama di waktu buka dan tarawih.

Ya, ini dia fenomena unik sekaligus positif lainnya di bulan Ramadhan: masjid-masjid menjadi hidup, penuh dengan kegiatan.  Kegiatan yang pastinya sih semacam tak’jil dan tarawih, disamping tentu saja shalat wajib berjamaah.  Sore harinya biasanya dilaksanakan pengajian atau pesantren ramadhan yang melibatkan anak-anak dan remaja sekitar masjid.  Beberapa kali dalam seminggu pun biasanya dilaksanakan pula majelis ta’lim.  Selain kegiatan-kegiatan yang bersifat rutin tersebut, masih ada lagi beberapa kegiatan insidental.  Contohnya Tabligh Akbar, perlombaan islami, dan bazaar.  Namanya kegiatan incidental ya barang tentu pelaksanaanya hanya dalam waktu dan periode tertentu saja.  Pelaksanaannya biasanya di pertengahan Ramadhan.  Adapun sepuluh terahi terakhir, masjid biasa disibukkan oleh dua kegiatan: Itikaf dan Pengelolaan zakat fitrah.  Pokonya, sepanjang Ramadhan, masjid-masjid hampir tidak pernah sepi berkegiatan.  Dan imbas positifnya dirasakan oleh warga sekitar masjid:  ada yang menjadi pengelola da nada yang menjadi partisipan.  So, masjid lebih hidup dan para warga sekitarlah yang menghidupkan masjid-masjid tersebut.

Terkait dengan aktivitas warga di masjid menjadi sati nilai plus tersendiri.  Selain waktunya menjadi lebih bermanfaat, rasa lapar pun akan menjadi tersamarkan.  Percayalah, dengan semakin banyak beraktivitas (apa pun itu selam positif dan tidak membatalkan) rasa lapar yang terutama menggerogoti di siang hari bisa tidak (begitu) terasa.  Ibaratnya, tahu-tahu sudah maghrib saja.  Memang sih kalaupun kita khawatir kecapekan, tidur adalah pilihan utama.  Toh, tidurnya orang yang berpuasa di bulan Ramadhan ini kan ibadah.  Tapi, apakah kita tidak tergiur dengan ibadah lain yang pahalanya jauh lebih besar?  Kan memakmurkan masjid pun bagian dari ibadah.  Manfaatnya pun bukan hanya dirasakan oleh kita sendiri, tetapi juga orang banyak.  Kalau bukan kita juga siapa lagi kan?  Hanya mengandalkan para pengurus badan ta’mir masjid bukanlah suatu win-win solution.  Mungkin mereka memang bisa megelola berbagai kegiatan Ramadhan tersebut.  akan tetapi jika tidak ada partisipannya?  Masa iya dari mereka, olrh mereka, untuk mereka?  Kan sayang juga.

Nah, kira-kira itu dulu saja ya catatan sambutan di Ramadhan 1433 H ini.  Masih banyak lagi memang hal menarik yang terjadi di bulan Ramadhan.  Yah, mudah-mudahan kita masih bisa merasakan nikmatnya kebersamaan bersama orang-orang terkasih selama Ramadhan ini.  Juga berpartisipasi aktif di masjid sekitar bila bisa meluangkan waktu.  Dan, terakhir tentu saja semoga ibadah Shaum Ramadhan kita kali ini diterima oleh yang Maha Pengasih lagi Penyayang.  Paling terakhir, semoga kita masih bisa berjumpa dengan Ramadhan di tahun-tahun berikutnya.

Nb: ini tulisan makin dibaca ke bawah makin gak enak ya? Ahh…mumpung ini bulan Shaum…..maafkanlah inkonsistensi penulis yaa dalam menyelesaikan postingan ini.  Maklum bercabang otaknya, tap tetep pengen beresin tulisan ini…daripada dia molor sampai akhir Ramadhan kan jadi gak lucu….heu…okay, sekali lagi mohon maaf lahir bathin atas ketidaknyamanan para pengunjung yang budiman saat secara entah sengaja atau tidak membaca postingan penuli yang ini…dan satu lagi SELAMAT MENJALANKAN IBADAH SHAUM 1433 H untuk semuanya J

Senin, 23 Juli 2012

3rd Day: Transportation Day


Setelah hari kedua kami-kami sangat go green dengan berjalan kaki mengintari malioboro tanpa berkendara sedikit pun, akhirnya hari di hari terakhir kami di kota ini kami putuskan untuk berkendara.  Mulai dari becak yang tradisional sampai Trans yang modern.  Oh, ya, sekedar informasi, entah apanya yang salah ya, yang jelas hari ketiga kami awali dengan terkantuk-kantuk.  Kalau kemarin hari pukul 09.00 kami sudah siap meluncur keluar penginapan, hari ini bahkan beranjak dari kasur pun belum!  Dinginnya cuaca seakan makin melenakan.  Dengan berat, akhirnya penulis menyeret diri masuk kamar mandi.  Baru setelahnya teman penulis menyusul.  Dengan kondisi seperti ini, ya tidak heran kalau akhirnya kami baru meninggalkan penginapan pukul 10.30.  Memulai agenda dengan mengunjungi toko oleh-oleh dan mengunjungi salah satu toko di Malioboro, pukul 12.00 kami sudah kembali ke penginapan untuk bersiap check out.  Pukul 12.30, setelah shalat zuhur, kami pun resmi meninggalkan kamar dan hanya menitipkan barang kami di kantornya si pengelola pengginapan.  Kaminya? Mabur pake Trans Jogja! haha

Trans Jogja!


Wiiw…setelah sekian hari dibikin puas sekadar melihat bus mini berwarna hijau kekuningan ini berseliweran di sepanjang malioboro, akhirnya penulis berkesempatan juga naik angkutan umum khas kota ini.  Apa sih yang spesial dari bus trans?  Ya..dgak ada yang istimewa ya secara di kota penulis pun sudah ada kendaraan sejenis meski penulis memang belum pernah berkesempatan naik (keburu ditarik lagi dari peredaran soalnya..heu), terus penulis juga sudah pernah merasakan naik bus sejenis di kota lain.  Nah, tapi justru bagi penulis pribadi, gak afdol rasanya kalau kita gak nyobain berkendara pake kendaraan khas kota yang penulis kunjungi.  Ada rasa penasaran saat belum mencoba dan kepuasan setelah mencobanya. Dan, sekalinya make trans ehh….diajak yang jauh sekalian, samapi shelter terakhir, sekitar 45 menit, alhamdulillah…puas! J

Prambanan


Kesinilah Trans membawa kami.  Ke shelter Prambanan.  Barang tentu lokasinya dekat, bahkan sangat dekat ke Prambanan.  Tinggal nyebrang aja sih sudah masuk kompleks Prambanan.  Tapi, pintu masuknya itu loh lumayan lah sekitar sepuluh menitan ditempuh dengan berjalan kaki.  Itu  baru sampai gerbangnya aja tapi, nah ke pintu masuknya sekitar lima menitan.  Dari pintu masuk ke kompleks utamanya sendir ya sekitar lima-sepuluh menita, jadi ditotal ya kurang lebih 30 menitan lah kami berjalan kaki.  Belum di kompleksnya sendiri, naik turun tangga plus ngelilingin kompleks candinya sendiri.  Mana di tengah suhu udara yang serasa menusuk kulit.  Tapi syukurlah, kesejukan seketika melanda saat kami menepi di salah satu sudut kompleks dan bernaung di bawah pohon yang rindang.  Entah bagaimana yang jelas beristirahat disana sangat-sangatlah menyejukkan.  Padahal ya saat penulis keluar dari area pepohonan tersebut untuk berfoto, udara panas yang tadi dirasakan langsung kembali menggerogoti.  Sungguh ajaib. 

Kauman


Sepulang dari Prambanan, sebelum kembali ke pnginapan kami sempat mampir ke toko sekitar malioboro untuk membelikan batik titipan kakak teman penulis.  sepuluh menit selepas maghrib kami baru kembali ke penginapan untuk shalat dan lalu mengambil barang yang kami titipkan.  Penulis sih masih menitipkan barang sampai jam 20.30-an karena berencana ingin bertarawih pertama di Masjid Gede Kauman dahulu.  Hasrat, ya, bertarawih di Masjid Gede ini sudah lebih dari sekedar keinginan, malah sudah menjadi hasrat.  Sejak awal berencana pergi kemari (sekalipun dadakan dan tak terduga) dan mengetahui kalau jadwal kepulangan tepat di malam pertama Ramadhan, sebenarnya penulis ingin memundurkan jadwal kepulangan hingga esok, tanggal 20 supaya sempat merasakan bersahur dan berbuka disana.  Namun, apa daya, ada satu jadwal akademik yang tidak bisa tidak penulis indahkan.  Jadi, ramadhan kali ini harus puas hanya dengan bertarawih pertama disana.  Ya, mungkin itu lebih dari cukup untuk saat ini.  Bukan jarak yang dekat dan harga yang murah sebenarnya untuk bisa bertarawih disana.  Maklum, kesana ya sama aja kayak ke keratin, perlu ditempuh dengan becak mengingat tidak ada kendaraan lain.  ada sih Trans, tapi konon kata mang becaknya gak lewat, tetep harus jalan.  Masalah karena jalan?  Oh, tentu saja tidak!  Wong kemarin saja kan penulis dengan teman dan adik udah puas gitu nyingkreuh.  Masalahnya kali ini justru adalah fakta bahwa penulis Cuma turis domestic *ceileh* di kota ini.  Sekalipun penulis sangat mengagumi kota ini, ya tetep ini bukan wilayah jajahan penulis.  Hari gini masih takut nyasar?  Secara kan teknologi udah canggih gitu…. Iya memang, tapi kan sayangnya penulis termasuk salah satu yang belum bisa mencicipi kecanggihan teknologi itu seutuhnya.  HP penulis ya boro-boro ada GPS-nya, masih seri W610i gitu, I-Pad mana punya, wong saking niat mengabadikan tiap momen lewat tulisan buat dishare via postingan blog kayak gini aja penulis sampe kudu memboyong net-book tercinta yang…masyaallah….berat!  Jadi intinya penulis tidak berani berspekulasi di kota asing dengan teknologi terbatas.  Titik. Mana male mini juga kan jadwal kepulangan penulis.  lewat pukul 21.24, penulis hampir pasti terlunta-lunta, kan sudah check out dari penginapan sejak siang hari.  Well, sudah-sudah, kembali ke kauman.  Masjid ini bagi penulis memiliki makana dan kedekatan tersendiri.  Ya, maklum ini kan masjid yang didirikan oleh pendiri persyarikatan yang dimana penulis menjadi bagian di dalamnya.  Mana pernah dibuatkan pula film biografinya, sampai kita faham betapa masjid ini dibangun dengan pengorbanan yang tidak sedkiti.  Dari tadinya surau kecil yang bakan sempat dirobohkan, ehh…sampa akhirnya berdiri kokoh sebagai sebuah masjid di kampung Kauman.  Lokasinya yang strategis (dekat Alun-alun dan Keraton) juga menjadi nilai plus tersendiri *ya walalupun dari Malioboro lumayan*.  Penulis tiba disini sekitar pukul 18.30, dan tanpa membuang waktu penulis langsung bergegas menuju kamar mandi.  Keringat yang melengketi tubuh yang dibekal dari Prambanan tadi sudah menghilang saat penulis berbecak seorang diri menuju kemari tadi.  Angin sepoy-sepoy menemani perjalanan penulis.  Seusai mandi, penulis pun segera memasuki masjid mencari lokasi strategis, dan akhirnya meski tidak strategis-strategis amat, tapi syukurlah ada tempat yang lumayan strategis.  Lokasinya ada di samping dekat kipas angin!  Ya, bukan rahasia kalau suhu di kota ini kan emang tidak sesejuk kota tempat penulis tinggal.  Dan, meskipun penulis baru saja mandi, ya, ruangan tertutup dengan jumlah orang yang banyak otomatis bikin suhu yang memeng sudah panas makin panas.  Makanya, sedari awal, posisi yang berangin yang penulis incar.  Dan kenapa penulis agak terburu-buru ya satu saja sih alasannya, supaya tidak kehilangan posisi strategis itu.  seperti bayangan penulis bahwa Kauman malam itu cukup disesaki jama’ah yang hendak melaksanakan tarawih.  Sekalipun ada perbedaan penetapan awal Ramadhan, toh di kota yang sedang penulis kunjungi ini kan memang merupakan pusat salah satu persyarikatan sosial agama terbesar di Indonesia sehingga tidak heran jika mayoritas sudah melaksanakan shaum di hari jum’at dan bertarawih di kamis malamnya.  Oh, ya, mengapa penulis hanya seorang diri? Karena rekan penulis enggan diajak bertarawih disana, takut ketinggalan kereta, malas berat bawa barang dan jauh, dan terutama doi setia sama pemerintah memulai shaum di hari sabtu.  Jadi ya itu tadi, kami berpisah pas penulis naik  becak menuju kaumana, sementara teman penulis masih berjalan-jalan di Malioboro sambil mencari becak menuju stasiun.  Kembali ke Kauman.  Shalat isya, Tausyiah, Shalat iftitah dan Tarawih semua berlangsung selama kurang lebih satu setengah jam.  Artinya, penulis hanya tinggal punya sejam kurang untuk tiba di stasiun.  Itu pun belum termasuk mengambil barang dan membeli makan *satu hal yang tidak pernah penulis lupakan*.  Hampir lima menitan menunggu sebelum penulis akhirnya mendapatkan becak.  Akhirnya, penulis pun meninggalkan Kauman dengan perasaan bahagia sekaligus sedih.  Bahagia sudah berkesempatan tarawih disna, sedih karena harus buru-buru meninggalkan tempat tersebut.  Lebay? Kan semua masjid sama aja, dan rata-rata masjid disana emang udah mulai taraweha juga malam itu? begini ya, yang mahal disini bukan Cuma ongkos becaknya, tapi lebih jauh dari situ sejarahnya, kedekataan emosionalnya.  Angin, angin, anginn…. Kegerahan di Kauman tadi terbayar dengan sepoyan angin yang meniupi penulis sepanjang berbecak menuju stasiun.  Sampai jumpa lagi Kauman, nantikan kembali kehadiran penulis….segera. 

Back Home: Lodaya Malam
Ini nih kejadian aneh unik lucu tapi nyata.  Perasaan penulis sudah dengan sangat gambalang bilang sama mamang becak-nya sedari awal kalau minta diantar ke penginapan untuk ambil barang sebelum ke stasiun.  Ehh…tapi entah apanya yang miss, yang jelas ini mang becak malah langsung bawa penulis ke stasiun, ya ampuun…kan gimana mau pulang juga orang barang masih di penginapan.  Akhirnya setelah menjelaskan beberapa kali dengan susah payah *nah lho, gak ngerti, penulisnya yang kurang jelas apa mamangnya yang…ahh sudahlah* akhirnya becak pun berbelok kea rah berlawanan, menuju penginapan.   Syukurlah lokasi penginapan tidak seberapa jauh ditempuh dengan becak, kebayang kalau lokasinya di dekat Beringharjo, alamat ketinggalan kereta ini mah.  Ya, bisa dibilang penulis kayak kejar-kejaran pas menuju stasiun itu.  mana teman penulis tak henti-hentinya menghubungi, pake anceman suruh ganti tiket kalau ketinggalan kereta lah, ditinggal lah.  Ahh, tapi sekalipun iya ketinggalan ataupun ditinggal penulis sama sekali tidak akan menyesali memaksakan diri bertarawih di kauman, paling yang bikin nyesel dan ngenes ya rugi di tiketnya.  Ditinggal seorang diri disini pun sebelutlnya penulis tidak takut, Cuma ya itu sayang tiketnya!  Dan, syukurlah semua masih berjalan sesuai waktunya.  Pukul 21.00 penulis tiba disana.  Menunggui teman yang tenyata baru shalat isya karena menunggu penulis dulu sedari tadi *maaf*, penulis akhirnya membeli amunisi untuk dimakan di jalan *secara ritme makan penulis yang santai dan menikmati tiap suapnya tidak memungkinkan penulis makan disitu*.  Kereta datang sesuai jadwal, tanpa berhenti lebih lama, pukul 21.30, kereta pun sudah melenggang lagi.  Jika perginya penulis terpaksa menumpang Kereta Eksekutif, sekarang penulis naik kereta bisnis yang tentu saja masih enakan eksekutif kemana-mana! *yaiyalah*.  Awlanya, fine, tapi lama-lama hawa panas tak tertahankan sangat-sangat menganggu, mana kaca jendela pas di tempat penulis duduk tidak bisa dibuka, kipas angina cukup jauh, pas di bawah sorot lampu.  Hemm…sama sekali bukan posisi strategis.  Dan entah bagaimana caranya penulis mampu bertahan hingga tengah malam sebelum akhirnya di tengah terjaganya penulis dari tidur untuk yang kesekian kalinya ini, penulis menyerah.  Saat ada petugas keamanan yang berpatroli, akhirnya penulis buka suara meminta si bapak membukakan kaca jendela.  Tidak mudah memang, perlu menggunakan alat, tapi syukurlah akhirnya bisa juga.  Sempat sedikit membuat gaduh, tapi ya untungnya tidak fatal.  Dan, alhamdulillah……sejuka dan segar nian saat jendela terbuka.  Iya pas enulis melihat sekeliling gerbong sih rata-rata pada kedinginan.  Malah, beberapa kipas angin tidak dinyalakan.  Beberapa lainnya berselimut.  Tapi ya gimana, kan kali kondisi dan perasaan kita beda satu sama lain.  Toh, teman penulis pun sama kegerahannya.  Meskupun semakin ke barat dan semakin menjelang subuh udara dingin terasa mulai menusuk, tapi itu jauh lebih baik daripada berasa seperti di panggang dalam oven.  Ya, mohon maaf ya bilamana kkeputusan saya membuat beberapa orang menggigil, tapi yakin ahh tidak sebegitunya.  Hehe.  Kereta tiba di Bandung pukul 05.30, dan segera kami menuju mushola, menunaikan shalat subuh.  Setelahnya, kami berpisah di luar stasiun karena menggunakan angkutan yang berbeda.  Dan, itulah akhir dari perjalan 3 hari 2 malam penulis di kota impian penulis, kota yang selalu ngangenin, kota yang selalu nagih buat dikunjungin, ahh… tunggu kehadiran penulis kembali ya!  Oh, ya, ini untuk pertama kalinya juga penulis mengalami “sahur on the road”, loh, sahur di kereta.  Serba terbatas dan kurang berselera, tapi ya dinikmati sajalah, namanya juga darurot. Hehe. Next time penulis bakal sahur  plus buka di kauman deh, semoga ya. Aamiin.
***

Begitulah kisah tiga hri perjalana penulis selama di kota Pelajar.  Aneh? Ngebosenin?  Ahh…gapapa yang penting penulis sudah berusaha menshare pengalaman, suka duka penulis disana.  Masih kerasa kaku apa lebay?  Maklumi saja ya, masih belajar.  Belum bisa meringkas.  Kalau ada yang punya tips dan masukan, dengan senang hati penulis terima.  Akhir kata, mohon maaf atas kebingungan yang penulis hadirkan di tiga postingan ini, dan selamat menikmati. J