Hasil
gemilang di Emirates Stadium ahad (26/02) lalu seolah mengalihkan public dari
hasil-hasil minor yang ditorehkan pasukan Arsene Wenger ini baik di ajang Eropa
maupun piala Liga yang berakhir dengan kekalahan menyakitkan. Rivalitas kedua tim mebuat atmosfer
pertandingan terasa sangat panas bahkan sebelum kick-off babak pertama
dimulai. Sebagai sesama tim asal London
Utara sudah bukan rahasia lagi bila keduanya merupakan musuh bebuyutan yang
bahkan kini hanya terpaut satu tangga di papan klasmen, meski secara selisih
poin tim yang setingkat di atas posisinya msih relatif aman. Performa tim tamu yang konsisten berbanding
terbalik dengan si tuan rumah yang fluktuatif tak karuan sehingga tidak heran
bila banyak yang kemudian lebih menjagokan tim berjuluk “the lilywhite” itu
ketimbang “the gunners”. Namun, sekali
lagi setimpang apa pun kualitas kedua tim di atasa kertas, namun derby tetaplah
derby yang selalu panasa dan sering kali tak terduga!
Dan,
menjelang turun minum, perkiraan banyak orang itu pun seolah akan menjadi
kenyataan setelah Luis saha dan Adebayor berhasil memaksa Szcezny memungut bola dua kali dari gawangnya. Kemenangan yang amat dinantikan itu
sepertinya sudah sangat condong ke kubu tim asuhan Harry Redknap. Namun, hey, ini sepak bola bung! Selama bola masih bergulis apa pun masih
sangat mungkin terjadi. Diawali oleh gol
Bacary Sagna di menit ke-40 setelah menerima umpan dari Mikael Arteta, dua
menit berselang pemain yang tengah berpedar terang bintangnya tahun ini pasca
peninggalan Fabregas, Robin van Persie menunjukkan kelasnya dengan membuat gol
penyeimbang lewat gol cantik dari sudut sempitnya. Dan, permainan yang sesuangguhnya dari si tuan
rumah yang sudah lama terluka akibat sejumlah kesalahan karena kecerobohannya
sendiripun di mulai.
Kekalahan
4-0 di leg pertama perdelapan final Liga Champion serta 2-0 dari Sunderland
yang bahkan barus aja dikalahkan di liga domestic pekan sebelumnya tidak cukup
berpengaruh untuk meluluhlanytakan mental RVP dkk. Telebih mengingat laga ini mrupakan derby
penuh gengsi, tentu para punggawa Arsenal tidak mau melewatkannya begitu
saja. Terbukti, penampilan impresif
mereka di paruh akhir babak pertama terus berlanjut di babak kedua yang berbuah
tiga gol dari Thomas Rosicky dan Theo Walcott (2 gol). Hingga laga usai, skor 5-2 tidak lagi
berubah, dan akhirnya Arsenal pun keluar sebagai pemenang dalam derby tersebut
yang mengembalikan posisinya sebagai Raja London.
Okelah
memang di papan klasmen, kemenangan tersebut hanya mampu membuatnya naik satu
tingak ke posisi 4, masih tertinggal tujuh poin dari tim yang barus aja dikalahkannya
tersebut. Namun, yang menarik, naiknya
posisi tim berjuluk Gudang Peluru ini memaksa tim asal London lainnya, Chelsea
yang jga sedang mengalami inkinsistensi, untuk turun satu peringkat ke posisi 5
karena meski poinnya sama namun selisih gol Arsenal masih lebih baik. Well, nampaknya selain derby Manchester di
peringkat 1-2, derby London pun sangat seru di peringkat 3-4-5. Dan, jangan lupakan Liverpool yang baru saja
menjuarai Carling Cup. Well, dua posisi
teratas Nampak sudah tak mungkin terkejar, biar menjadi jatah tim Manchester. Namun, untuk posisi 3-4 masih terbuka pelunag
bagi empat tim tadi. Kan, jatah Liga
Champion hanya empat ya, maka selmat bersaing tim London! #GGG J
Ini adalah kisah mengenai seorang gadis,
mengenai harapan, cita-cita, serta prioritasnya di tahun ini, pasca tanggal
penting dalam hidupnya. Tanggal yang menjadi alarm baginya untuk serius
menyusun dan tentu saja melaksanakan targetan-targetannya tersebut. Penasaran? Beginilah kisahnya….
Tiga hari yang lalu gadis ini genap
berusia 22 tahun. Sebuah sudut di rumah
sakit umum terbesar di kotanya tinggal mmenjadi saksi bisu kehadirannya di
dunia ini. Terlahir sebagai anak pertama
dari pasangan yang telah menikah selama dua tahun sekaligus cucu perempuan
pertama (dari tiga cucu) dari pihak sang bunda dan cucu keempat dari pihak sang
ayah (dua lelaki, satu perempuan), bayi perempuan mungil sepanjang 51 cm dan
seberat 3 kg ini kemudian diberi nama Febriyani Nuril Akmaliyah. Febriyani diambil dari bulan kelahirannya
(febri untuk Februari, Yani sebagai indikasi anak perempuan *sotoy*), Nuril
diambil dari gabungan nama depan orang tuanya sebetulnya namun masih menyandang
arti dari Nur itu sendiri yang adalah cahaya, dan Akmaliyah diambil dari bahasa
Arab seperti halnya Nur yang berarti sempurna.
Jadi jika disimpulkan Febriyani Nuril Akmaliyah bisa jadi berarti ‘Anak
Perempuan yang lahir di bulan Februari dengan Cahaya Kesempurnaan ‘ atau Peremepuan
dengan Cahaya Sempurna yang lahir di bulan Februari’ (100% interpretasi sendiri
tnapa mengacu kemanapun, jadi jangan asal percaya! Haha). Jika demikian adanya, (sudah sempurnakah) si
gadis?
Belum, tentu saja belum dalam hal-hal tertentu dan tidak untuk beberapa
hal. Secara konkrit sama sekali tidak
sempurna, secara abstrak masih berproses menuju kesempurnaan. Memang, sebagai wanita si gadis pastilah
cantik *kan tidak mungkin ganteng*, namun dibandingkan dengan gadis seumurannya
si gadis secara tampilan konkrit kalah menarik.
Tak apalah, mungkin kesempurnaan itu sesuai namannya terpancar melalui
cahaya yang secara abstrak muncul dari apa yang menurut orang disebut sebagai
aura *SOTOY ABIS SUMPAH, #ABAIKAN!*. Apa
pun itu, si gadis memang sedang berproses menuju pribadi yang berkali lipat
lebih baik seiring dengan semakin berkurangnya jatah tinggalnnya di dunia
ini. Meskipun yang konkrit dirasa sulit untuk
diperbaiki, namun toh sangat banyak yang bisa ia perbaiki bagi yang abstrak.
Kini di usianya yang sudah memasuki fase
dewasa awal berdasarkan teori psikologi, tentu kedewasaan dalam arti seutuhnya
menjadi salah satu resolusinya di tahun ini.
Dewasa dari segi karakter, emosi, pribadi dan tentu saja finansial yang
pada akhirnya terangkum dalam harapan atau yang dikenal sebagai “birthday-wish”nya
si gadis di tahun ini.
Dimulai dari finansial. Di usianya yang memasuki tahun keduan di
dasawarsa ketiganya ini, si gadis masih didukung secara finansial oleh orang
tuanya. Baik si gadis maupun orangtuanya
belum mempermasalahkan mengingat statusnya yang masih mahasiswa. Si gadis ini pada awalnya memang tidak
ngotot untu lulus sesegera mungkin dan justru mengamini pendapat seorang
temannya tentang lulus pada waktu yang tepat; namun seiring waktu kesadarannya
untuk segera memberi hadiah terindah atas jerih payah orang tua membiayai kita
hingga detik ini pun akhirnya tak terelakan lagi mengingat adik kedua dari
empat adiknya akan masuk kuliah di tahun ajaran baru ini yang berarti beban
biaya orang tuanya pun akan semakin membengkak.
Carannya? LULUS ASAP! Jadi ya
itu, akhirnya wisuda di penghujung tahun ini pun masuk dalam daftar prioritas
si gadis di tahun ini meskipun ia hingga berita ini diturunkan bahkan masih
belum kepikiran mau mengangkat apa untuk (setidaknya) proposalnya!
Kedua, dari segi pribadi. Selain sebagai seorang mahasiswa yang
bergelut dengan kegiatan akademik seperti mengerjakan tugas, hadir di kelas,
dan segala tetek bengeknya dan aktivis yang bergelut dengan aktivitas peryarikayannya
mulai dari rapat, merancang hingga melaksanakan sejumlah program, berikut
kunjungan daerah, si gadis ini tentu saja masih berstatus sebagai anak yang
masih menjadi hak orang tuanya dan memiliki kewajiban terhadap orang tuanya
sepenuhnya. Karenanya, si gadis kini
mulai berpikir untuk segera mandiri sebagai seorang pribadi dengan berganti
status dari anak menjadi calon orang tua dan dari siswa menjadi calon guru. Caranya? Melaksanakan sunah rasul dan segera
mengajar! Yap, rasanya ini sudah the
right time for getting the right one juga the rigt time for spreading and sharing
out my knowledge. Sesuai apa yang
diharapkan sekaligus juga doa barangkali dari sang bunda yang ingin si sulung
segera lulus supaya segera memulai kehidupan baru sebagai pendamping seseorang,
si gadis pun sangat mengamini harapan itu sekali pun sampai detik ini si mr.
right itu masih sangat sangat sangat misteri bagi si gadis yang masih suka
galau *kadang pengen segera, sering kali ditinjau ulang untuk segera*. Makanya, kemandirian dalam hal ini bakal jadi
prioritas di kala si gadis setidaknya telah melewati tahapan disang skripsi,
yah semacam urusan setelah selangkah menuju LULUS KULIAH.
Untuk perubahan status yang kedua yang
sebenarnya sudah menjadi hasratnya sejak beberapa tahun terakhir namun terlalu
banyak kendala sudah sangat ingin diaplikasikannya di tahun ini. Dan, Alhamdulillah, kesempatan itu terbuka di
awal bulan depan yang meskipun sama sekali tidak profit *hanya dihonor
seongkoseun*, tapi disambut dengan sangat hangat dan terbuka oleh si gadis
sebagai ajang pemanasan dan pengasahannya sebelum terjun secara resmi ke medan
yang sesungguhnya smester depan. Ke depan,
mudah-mudahan mengajar bisa segera menjadi profesi yang akan engahntarkan si
gadis meraih kemandirian dari segi finansial.
Dari segi emosi dan karakter, ya penulis
ini sebetulnya tipe pecinta kedamaian dan pengalah di luar meskipun tak jarang
bisa meledak-ledak juga kalau di rumah. Dengan
orang lain penulis paling enggan menuai konflik yang kadang tanpa diundang pun
tercipta dengan sendirinya dalam kehidupan bersosialisasi mengingat banyaknya
pribadi dan karakter yang tentu saja berbeda satu sama lain yang terlibat
disana. Bahkan si gadis cenderung rela
terkorbankan perasaannya demi terciptanya perdamaian. Kasarnya, si gadis lebih rela dia yang
meafkan orang lain daripada mesti orang lain yang memaafkannya yang menurutnya
belumm tentu semudah yang pertama. Tapi,
jangan salah, plis si gadis bukan 100% malaikat, ia pun sama seperti yang lain
bisa merasakan marah dan kesal. Bahkan ia
pun bisa meledak-ledak, di rumahnya! Tapi
ya gimana mungkin karena rumah dan keluarga itu ya tempat semua orang bisa
benar-benar menjadi dirinya sendiri karena seburuk apa pun mereka tetap bisa
menerima dan memaffkan kita.
Si gadis
contohnya, semarah apa pun ia pada keempat adiknya, akan sangat-sangat mudah
baginya untuk menghapuskan bahkan melupakan kemarahannya serta memaafkan
adik-adiknya. Bukan tidak pernah juga si
gadis kesal pada kedua orangtuanya yang meski bisa sampai perang dingin
beberapa hari tapi di batinnya ia segera langsung menyesali kekesalan atau
sikap kesalnya pada kedua orangtuanya—hanya soal gengsi saja yang tidak
membuatnya segera kembali normal. Karenanya,
besar harapan si gadis di usianya yang sekarang ini ia sudah jauh lebih mampu
mengatur emosinya terutama terhadap keluarga tercintanya serta mulai
menunjukkan karakter agar memudahkan untuk mulai menjadi subjek bukan dominan
sebagai objek lagi di lingkungan sosialnya.
Begitulah harapan, cita-cita, sekaligus
prioritas si gadis di tahun ini yang jika dirangkum maka prioritas utamanya ada
di menyelesaikan studi yang nantinya akan berimbas pada kemandirian baik secara
pribadi dengan menemukan si mr. right juga secara finansial dengan
berkesempatan menjadi pendidik yang sesungguhnya dengan didukung kematangan emosional
dan karakter yang kuat. Semoga seluruh
harapan dan cita-cita si gadis terkabul ya, untuk itu mari doakan bersama-sama
supaya semuanya itu tercapai..aamiin!
Pemain: Reza Rahardian, Ario
Bayu, Baim Wong, Pevita Pearce, Slamet Raharjo, Roy Martin, Tio Pakusadewo, Jajang C. Noer, Winky
Wiryawan, Wulan Guritno, Ray Sahetapy, Lukman Sardi
Sutradara: Adila Dimitri, Bobby
Eryanto, Robert Ronny, Yudi Datau, Rinaldi Puspoyo
Produser: Wulan Guritno, Adila
Dimitri
Sinopsis:
Upacara
di lapangan kepolisisan membuka kisah film ini.
Ada Ario (Aryo Bayu), perwira pplisi yang baru saja dipindahtugaskan
dari Medan (akan diketahui menjelang akhir film) yang sudah ditunggu Komandan Bowo (Tio Pakusadewo) di parkiran. Dan,
setelah permintaan maaf mebuat menunggu mereka pun bermobil bersama menuju satu
titik.
Di
sudut lain, sekelompok masa yang mengatasnamakan jamaah anu (mirip front
pembela agama itu loh) sedang menggelar shalat berjamaah dengan diimami Ibnu
(Baim Wong) yang bersama rekannya Said (Wingky Wiryawan) hendak memimpin ‘perjuangan’
memberantas ormas lain yang dinilai menyimpang dan menodai agamanya. Puluhan polisi sudah bersiaga menghadapi
kemungkinan bentrokan dan kerusuhan yang memang sudah tak terelakkan lagi. Di tengah-tengah
bentrokan terlihat Ario yang baru saja memarkir mobilnya bersama komandan Tio
berusaha menyelamatkan seorang nak kecil yang berteriak-teriak “Abi…..Abi……”
dan lalu buuuk! Sebuah pukulan mendarat di kepala Ario. Gelap.
DILEMA
besar-besar muncul di layar gelap tadi. Kisah
pun beralih ke sebuah pantai dimana seorang gadis muda nan jelita Dian Wibisana
(Pevita Pearce) sedang menikmati berjemur
di bawah terik matahari pantai tak jauh dari hingar binger pesta yang memecah ‘kedamaiannya’. Sempat dihampiri seorang pemuda yang hendak
mengambil bola sambil mengajaknya bergabung, ia menolak, “gak perlu diundang
gue bakal datang sendiri kalau gue mau” jawabnya datar atas ajakan itu. Tidak lama ia dihampiri lagi, kali ini oleh
seorang perempuan hamil yang mengenalkan dirinya sebagai Rima. Setelah berbincang beberapa saat mereka pun
menjadi akrab bak kawan dekat. Akrab dalam
hitungan jam, hati-hati!
Kembali
ke ibu kota, di sebuah ruangan yang tertata rapi, Adrian (Reza Rahardian) kedatangan
seorang tamu bernama Hetty (Jajang C. Noer). Wanita paruh baya yang ditemani dua pengawal
itu menyerahkan sebuah kartu nama dan memintanya mengunjungi orang yang
disebutnya Bapak di alamat tersebut. Sempat
tak acuh, ia pun acuh juga setelah kawan sekaligus rekan kerjanya (Abimana)
menyebutkan nama Soni Wibisono setelah membaca kartu nama yang tergeletak
begitu saja di atas meja. Sempat ragu,
ia pun akhirnya menyempatkan diri memeuhi undangan itu. Disambut Hetty yang menjanjikan bahwa ia akan
pulang dalam keadaan baik-baik saja, iapun menunggu sosok SW yang tersohor dan
entah mengapa mengundangnya itu.
Di
sudut Jakarta lainnya, di kawasan pinggiran, seorang lelaki paruh baya yang
belakangan diketahui bernaa Sigit (Slamet Raharjo) perlahan-lahan kembali masuk
ke kasino tempatnya bermain judi, aktivitas yang sudah cukup lama ia tinggalkan
dan menyebabkannya ditinggalkan anak istri.
Sekedar melintas tadinya, toh ia kembali tergiur untuk beraksi lagi,
apalagi pasca melihat jam warisan kesayangannya yang ia gadaikan akibat
kekalahan berjudi. 150 juta, harga yang
tidak sedikit, untuk menebusnya. Sempat diperingatkan
(Lukman Sardi) untuk segera pulang dan tidak lagi terlibat dalam perjuadian
itu, ia malah justru menerima tantangan si empunya kasino (Ray Sahetapi). Bermodalkan pinjaman sepuluh juta, sekali dua
kali main ia kalah, merugi, berhutang. Pinjam
Lukman Sardi tak diberi, seseorng akhirnya bersedia meminjaminya dengan bungan
25% per hari (judi..oh judi). Sebagai mantan
penjudi tangguh, tanpa ragu ia banyak melakukan all in. Dan, tidak sia-sia, jam tangan seharga 150 juta
itu pun kembali ke tangannya, tepat sebelum polisi menggerebek lokasi kasino
serta meringkus semua yang ada disitu.
Sementara
itu, Soni Wibisono (Roy Marten) orang paling ‘disegani’ an mengaku sebagai
penguasa Jakarta tengah dalam kondisi sakit.
Istrinya telah meninggal, anak perempuannya tak mungkin mau meneruskan
dan mewarisi bisnisnya katanya satu kali.
Maka, ia yang merasa kerja kerasnya selama ini mesti ada yang
melanjutkan memutuskan memanggi anak lamanya, untuk memberi tahu sekaligus
mewariskan apa yang ia punya. Sayang,
orang yang ditunggunya dengan sedikit gugup sekaligus harapannya menolak
mentah-mentah. Apalagi setelah tahu
bahwa kemapanan karir dan keberhasilan hidupnya selama ini adalah hasil campur
tangan orang yang sekarang tiba-tiba mengaku sebagai anaknya. Ya, dialah Adrian. Adrian lantas pergi setelah mengamuk, merebut
pistol dan Laptop SW. Hetty pun tak
kuasa mencegahnya. “Biarkan anak itu pergi” kata SW kemudian sambil
terengah-engah.
Malam
harinya, Ario menemani komandan Bowo alam sebuah operasi penggerebekan sebuah rumah
kasino. Lokasi dimana ia menyksikan
sendiri seorang yang amat ia kenal ikut diringkus dalam penggerebekan itu,
seseorang yang tadinya ingin ia beri kejutan namun malah justru mengejutkannya. Kejutan apakah itu? Di sebrang pulau, di tepi
pantai, Dian akhirnya mau bergabung di perta yang diadakan Raymond dan bersedia
meminum obat yang diberikan Rima, barang yang sebenarnya sudah ia
tinggalkan. Ia menari, ngobat, hingga
bercinta untuk sejenak melupakan kepenatan ditinggal sang bunda tercinta dan ‘ditelantarkan’
sang ayah yang takan mencarinya menurutnya.
Apakah kesenangan malam itu akan memberikan kehidupan baru baginya? Bagiamana dengan sang ayah?
Sementara
di sudut ibukota lainnya, Ibnu yang tersadarkan akan demo-demo tak bertujuan yang
malah menciderai agamanya dan membuatnya dijauhi sang gadis pujaan mulai ‘tobat’
hingga membuat Said, yang belakangan diketahui menjual agamanya dengan
memprovokasi kawan-kawannya berdemo dan mebuat aksi kekacauan lainnya dengan
disokong para donator sekaligus dalang yang salah satunya adalah SW, begitu
marah. Apakah ia akan benar-benar
berhenti? Mampukan ia menyadarkan Said yang masih memiliki anak perempuan
kecil? Lalu akankah Adrian bisa bebas
begitu saja setelah ‘pemberontakan’nya atas SW--terlebih dengan membawa laptop
yang berisi data-data berharganya? Lantas bagaimana nasib kerajaan SW pasca
peninggalannya kelak setelah sia hali waris yang diharapkan justru menolak
bahkan memberontaknya? Apa yang akan ia
lakukan pada anak ‘durhaka’ tak tahu diuntung itu? Akan setega apa pada anak kandungnya? Nasib anak
perempuannya pun bagaimana? Bagaimana pula
nasib sang penjudi yang setelah terbebas berkali-kali berkat nama besar ayahnya
yang orang penting di kepolisian itu pasca diringkus di tempat kasino itu?
Temukan
semuanya di film DILEMA ini, buruan kunjungi bioskop terdekat kesayangan Anda
sebelum film ini turun bioskop (lagi-lagi, untuk kesekian kalinya, nonton hanya
bertemankan kurang dari sepuluh orang lainnya di bioskop yang berkapasitas
sekitar 200 orang).
***
he always charming!
Lima
cerita yang akhirnya menyatu. Alasan
utama penulis menonton film ini tak lain dan tak bukan karena sosok aa REZA
RAHARDIAN. Jadi pengusaha muda yang
sukses walaupun yatim piatu sejak kecil.
Hidup di panti asuhan setelah ortunya wafat dalam sebuah kecelakaan,
hidupnya yang seharusnya sulit itu entah mengapa terasa begitu mudah dengan
beasiswanya dan kesuksesan bisninsnya sekarang.
Usut punya usut ternyata semua bisa menjadi begitu mudah karena semua
itu dirancang oleh seseorang. Beasiswa itu,
perusahaan itu. Kebayang gak remuk
redamnya, usaha dan kesuksesan yang selama ini kita bangun susah payah dan
bangga-banggain ternyata adalah hasil ‘karya’ orang lain. Water lah si aa disini mana endingnya…ahh…so
poor lah aa Reza disini.
Setelah
sekian lama *ehh…pernah nonton apa ya filmnya dia the? Eiffel gitu ya?—lupa*,
akhirnya liat lagi Pevita Pearce di layar lebar! Doi berani pisan lah disini. Berbikini ria, ciuman—bahkan sama tokoh Rima
(Wulan Guritno) yang entah bener nempel dan emang Cuma secup udah atau efek
sensor juga, yang jelas latar-nya remang-remang jadi emang samar, sampai adegan
ranjang segala. Karena settingnya pantai
kali ya, ahh dunno lah, yang jelas doi jadi cewek frustasi yang berkali-kali
nyoba bunuh diri *ada luka bekas sayatan di pergelangan tangnnya di salah satu
scene* dan berhasil dibujuk kemblai ngobat.
Wulan Guritno juga Nampak sangat berbeda disini dengan rambut
pendeknya. Tadinya sebelum sadar doi
ternyata pengedar gitu, kirain mau jadi lesbi disini apalagi pas ada adegan
nyium si Dian (Pevita).
Yang
rada ganggu dari film ini buat penulis yakni jambang Said yang kalo dari deket
keliatan pisan lah palsunya! Terus ya
gak tau kurang suka juga sama perannya, kurang ngena. Belum lagi tempelan kayak pamflet sedanya *dari
kertas tipis yang warna-warni* bertuliskan “Pemerintah Vs Pejuang”. keliatan Banget maksanya, meski ditempel di
berbagai sudut tapi tetep kesan maksainnya buat penulis pribadi loh ini tetep
kerasa ganggu! Terus sub-tittle yang
ada di film ini juga jadi bikin penulis geli buat curi-curi liat dan
ngebandingin (karena kebetulan konsentrasi studi penulis di penerjemahan)
sampai-sampai sesekali ya kelewat aja adegan-adegannya, begitu. Tapi, diantara semuanya yang paling bikin penulis berkali-kali mengrenyitkan dahi adalah latar waktu yang gak sinkron antara satu kisah dengan kisah lain, perasaan sepanjang adegan aa Reza itu full cahaya matahari meski dalam kamar; di Pevita ada pagi-siang-malam-pagi; di Ario pagi-siang-malam; di Slamet Raharjo siang-malam; di Baim-Winky siang-malam-subuh. padahal mereka seolah satu kesatuan cerita kan pada akhirnya mah, nah loh?
Secara
keseluruhan film ini mood-nya suram,
gambarnya, settingnya, karakternya.
Iya, makanya dikasih judul DILEMA juga karena begitu kali ya. Nonton lah, cast-nya bagus-bagus, ceritanya
juga sedilematis judulnya, klimaksnya, kalo bagi penulis dapet meski ada
beberapa hal yang kalau bagi penulis mesti butuh penjelasan lebih lanjut kayak tokohnya
om Tio yang polisi oknum korupsi. Menonton
film ini seorang diri tidak membuat penulis menyesal karena dengan mood suram
tadi film ini berpotensi membuat penonton-penonton tertentu cepat bosan *bahkan penulis sendiri sempat sekali dua menguap, heu*. Setidaknya penulis gak perlu merasa gak enak
karena mengajak teman yang ternyata merasa menonton film ini hanya buang-buang
duit soalnya filmnya bosenin banget *sudah terlalu pesimis dengan penonton
Indonesia yang dalam hal ini teman2 penulis,--so sorry guys*. Ehh..yang unik juga, menonton ini entah
mengapa bikin penulis sedikitnya ngeh sama istilah-istilah di meja judi kayak “all
in” sama “full house”! yang jelas, yuk
semarakan film Indonesia berkualitas dengan menontonnya di bioskop! J
Pertama kali tahu preview
film ini pas lagi buka laman Facebook-nya bang Es Ito, sang penulis, pas mau
nyari tahu tentang buku lain beliau selain Negara Kelima. Beliau itu
nge-link tentang film ini yang kalao gak salah sih bilang kalau belaiulah penulis
skenarionya. Pas buka, jujur tertarik gak teratrik, tapi dengan nama bang
Es Ito da didukung dua pemeran utama yang seorang Laura Basuki dan Abimana
(awalnya sempet, ini gimana ya chemistry-nya), jadilah film ini one of
a-must-see-movies on february (yang ternyata banyak sekali film Indonesia bagus
yang tayang dan bagi penulis pribadi sangat sayang untuk dilewatkan).
Naah, akhirnya meski seorang diri (karena gak yakin bakal ada yang mau ya
dengans seabreg alesan terutama “apaan film Indonesia—yang maes BGT kan
dengernya ngejudge tanpa cari tau dulu minimal ulasannya--) penulis pergi deh
ke bioskop biasa. Pas mau beli tiket sambil nyebutin film yang dimaksud,
terjadilah hal yang bikin geeng-geleng sambil mengelus dada ini:
Mbak2: mau nonton film
apa?
Penulis: Republik Twitter
Mbak2: berapa orang?
Penulis: satu aja
Mbak2: masih kosong, baru
teteh aja yang nanyain (sambil liatin kursinya di computer)
Penulis: tapi tetep
diputer mbak?
Mbak2: kalau cuma satu
orang gak akan diputer, tadi juga yang pertama gak diputer soalnya gak ada yang
nonton.
Penulis: *hening*
emaaaaaaak *dalam hati*
Mbak2: gimana the mau
dicoba dulu? Bentar lagi mau main soalnya.
Penulis: *gak mau rugi*
ya udah nanti dulu aja ya mbak.
Mbak2: iya *sambil senyum
yang dibilang kepaksa sih enggak, tapi dibilang tulus pun gak tau, senyum tugas
lah itu*
Penulis tunggu beberapa
menit, penulis liatin tuh loket ternyata belum ada yang mampir lagi. Pas
di menit-menit tearkhir adalah seorang bapak dan sepasang anak muda yang
menghampiri loket itu. Dengan perasaan gembira dan penuh pikiran positif,
penulis hampiri lagi aja itu loket dan seketika kecewa pas denger percakapan si
bapak dan si mbak:
Mbak2 : film apa, Pak?
Bapak : fil anu *film hantu yang gak tau dan males
tau juga namanya*
Mbak2 : berapa orang?
Bapak : satu aja.
Mbak2 : mau duduk dimana, Pak?
Bapak : di anu *kehilangan focus*
Monitor pun
memperlihatkan deretan kursi yang walaupun belum penuh tapi setidaknya sudah
terisi setengahnya. Demi menghabiskan
penasaran, penulis tanya lagi deh mbak2nya.
Penulis: mbak, gimana
jadinya film #republiktwitter?
Mbak2 : gak tayang.
Penulis: ohh…
Dalam hati..
“heran yah (penonton) Indonesia, masih aja lebih tertarik sama
film hantu geje disbanding film yang (katakanlah) bener, sampai film sekelas
#republiktwitter aja gada penontonnya, *heloooooooooo*”
Sempat berfikir sejenak,
akhirnya penulis putuskan untuk pindah ke bioskop lain yang jaraknya gak begitu
jauh dari bioskop ini, sekali ngangkot lah *saking niatnya*. Sudah menyiapkan kemungkinan terburuk
kalo-kalo film ini gak jadi tayang juga di bioskop yang sekelas lebih tinggi
daripada yang pertama ini, penulis pun kembali berkata dalam hati.
“kalopun gak ada penontonnya lagi atau gak keburu yang sekitaran
jam itu, maka penulis memang belum ditakdirkan menonton film itu.”
Dalam kurun waktu kurang
dari lima belas menit tibalah penulis di bioskop kedua. Setibanya disana tanpa buang waktu akhirnya
penulis samperin ticket box-nya, dan langsung beli deh…aahh…untung pas liat
jadwal, jam tayang berikutnya itu pukul 16.20, sementara pas penulis tiba
disana itu sekitar pukul 15.30, ada waktu buat shalat ashar dan…ngapain yaa? *untung
bawa buku*. Pas penulis beli tiket,
percaya atau enggak kursi yang keisi baru dua dong yang sangat penulis curigai
adalah ‘milik’ sepasang insan. Sempet waswas
tapi penulis fikir “bodo amat mau
berapapun juga, yang penting diputer dan bisa nonton hari ini juga!”.
Setelah shalat dan
menunggu beberapa belas menit akhirnya penulis masuk juga ke studio yang sudah
ditempati oleh tiga pasangan yang terpencar di berbagai barisan, namun masih di
sayap kiri. Sempet ngerasa keki
gara-gara seolah terjebak dimana ya *ya kebayang ya, mereka semua pasangan dan
penulis sendiri*, berharap ada lagi penonton non pasangan yang juga nonton, ehh…sampai
mau diputer emang sih ada empat penonton tambahan, tapi ternyata merekan pun
berpasangan. “untung nontonnya
gelap-gelapan” mencoba mensyukuri keadaan yang sebetulnya lumrah *lampu bioskop
mati maksudnya*. Dan, nontonlah penulis
film #republiktwitter itu.
******
Poin utama yang ingin penulis bagikan adalah kenyataan
bahwa banyak film Indonesia dengan kualitas (baik cerita ataupun acting) di
atas rata-rata yang masih dipandang sebelah mata oleh prnonton Indonesia
kebanyakan. Mereka, penonton Indonesia
kebanyakan, lebih rela buang-buang duit buat nonton film hantu yang sebenernya
serem enggak, bodor kurang, esek-eseknya
justru iya. Tapi yaudahlah itulah
kenyataan barangkali bahwa sebagian besar penonton Indonesia, khususnya di
bioskop pertama yang penulis kunjungi itu, cenderung lebih suka ditakut-takuti
atau ketawa gara-gara ulah konyol tokoh-tokohnya disbanding liat film yang Cuma
bisa bikin mereka sekedar menertawai satu realitas tragis yangbiasa disebut
satire.
Waduh, penulis berhubung nulisnya gak sekali duduk jadi
belepotan sangat nih, heu. Intinya penulis
Cuma mau share keprihatinan minimnya minta penoton Indonesia kebanyakan sama
film-film yang sebenarnya seru, tapi Cuma karena dia film Indonesia non horror atau
romantic-comedy, jadi…..semoga kita *khususnya penulis dan yang mampir ke blog
ini bukan bagian dari jenis penonton yang banyak itu supaya perfilman Indonesia
bisa semakin maju, aamiin!*
Cast: Abimana, Laura Basuki, Ben Kasyafani,
Enzi, Tio Pakusadewo, Leroy Usmani Sinopsis:
Adalah
Sukmo (Abimana) seorang mahasiswa tingkat akhir Jogja yang keranjingan bermain
jejaring sosial Twitter, sampai-sampai membuatnya nekat untuk ikut pergi ke
Jakarta bersama Andre (Ben), teman sekostannya yang orang Jakarta, untuk
menjemput komitmen dengan ‘kekasih’ Twitterannya, Dyah Hanum (Laura basuki),
seorang jurnalis muda berbakat.
Sesampainya
di Jakarta, ia mengurungkan niat untuk menemui sang pujaan hati dan menunda
mengejar koitmennya saat mengetahui bahwa Dyah Hanum yang selama ini ia kenal
hanya melalui profil picture di account twiiter-nya itu ternyata jauh lebih
cantik, belum lagi tak lama ada seorang lelaki yang menurut si Sukmo ini
Jakarta banget tiba-tiba menghampiri si pujaan hati. Ia yang hanya berkaus oblong, jins, dan
sandal jepit kontan jiper sampai akhirnya memutuskan untuk tidak dulu
menemuinya. “Mundur selangkah untuk maju
dua langkah” katanya pada Andre #ngeles.
Di
Jakarta, Sukmo tinggal di kediaman Andre yang tinggal bersama Ibu (Early Ashi)
dan adik perempuannya, Gita. Ia juga
diajak berkenalan dengan kekasih Andre yang masih SMA, Nadya, yang ternyata
juga penggila twitter sepertinya. “Pacar
kamu sama ababilnya kayak mobil kamu ya Ndre” canda Sukmo pas pertama kali liat
Nadya. Selain itu, ia pun rupanya
mendapat kesempatan bekerja di ‘perusahaan pelayanan jasa’ milik bang
Belo. Pekerjaan yang tidak biasa namun
sesuai dengan hobi-nya bertwitter ria.
Ia
bersama rekan-rekannya diminta mengorbitkan Arif Cahyadi, serorang politisi
yang konon hendak mengajukan diri dalam PILGUB, yang ingin popular di dunia
maya tanpa ingin memiliki account guna pencitraannya. Mereka mendapatkan job tersebut melalui
seorang yang mengaku sebagai konsultan komunikasi atau PR yangbernama Pak Kemal
(Tio Pakusadewo). Tugas mereka sih cukup
membuat hastag #ARIFCAHYADI menjadi tranding topic, syaratnya gampang: berdiam
diri di depan computer selama hampir full 24 jam, calling kolega untuk bantu
mengetik hastag atau retweet, that’s all.
Syarat lainnya, tweet yang disampaikan harus efektif dan menarik seperti
yang sering dilakukan Sukmo dalam tweet-nya seperti kata bang Belo (yang
gara-gara itu jadi tertarik merekrut Sukmo.
“Kamu ada bakat di bisnis ini, Mo” katanya satu kali.
Sementara
Sukmo sibuk ketak-ketik sampai kelupaan sama handphonenya, di sudut Jakarta
lainnya Hanum lagi galau. Galau karena
ia dianggap kurang berkontribusi dalam setiap laporan, galau karena gagal
bertemu Sukmo yang sduah lama ia nantikan, galau menanggapi keinginan ayahnya
agar ia beralih menjadi presenter saja karena namanya belum pernah sekalipun
muncul di liputan utama meski ia sudah cukup lama dan enjoy sebagai jurnalis,
dan yang paling utama galau setelah ide yang hampir matangnya dicaplok begitu
saja oleh wartawan senior di kantornya sampai ia lagi-lagi dianggap kurang
berkontribusi oleh atasanya. Berbagai
kegalauannya itu membawanya pada satu keputusan untuk berhenti menjadi wartawan
dan mulai mempertimbangkan menjadi presenter sekalian bikin bangga sang papa. Ada sosok Rika (Jenifer Arnelita) reakan
kerja sekaligus sohibnya serta Gary (Gary Iskak), lelaki yang selama ini
mengejarnya, di sisi Hanum, tapi ia tetap masih merindukan dan penasaran dengan
Sukmo.
Setelah
suskes dengan proyek menjadikan #ARIFCAHYADI-nnya sebagai tranding topic, Sukmo
dkk pun gajian. Kesempatan ini pun ia
gunakan untuk membayar hutang pada Andre dan bertemu dengan Hanum. Pas ketemu, si Hanum yang tadinya seneng jadi
bête dan kesel pas tau kalau Sukmo yang ia bayangkan slengekan ternyata
berdandan sok rapid dan bergaya sok santun.
Pertemuan yang gak lebih dari lima menit dan cuma berisi kenalan,
makasih, dan maaf karena harus pulang duluan.
Andre memperingatkan Sukmo buat konsisten sama perkataannya buat menjadi
diri sendiri kayak nasehatnya pas Andre-Nadia berantem gara-gara Andre ngerasa diduain
sama followers-nya Nadya.
Masalah
muncul pas Sukmo yang tau kalau Hanum bakal berhenti jadi jurnalis pas ngeliat
dari recent foto-nya di twitter langsung nyusulin ke kantornya, Lini Masa, dan
mengungkapkan semua hal terkait akun rancangan #ARIFCAHYADI yang sedang booming
itu untuk menjadi bahan berita Hanum demi mencegahnya mundur sebagai
jurnalis. Sejak itu hubungannya dengan
Hanum mencair. Hanum pun mendapatkan
momentumnya sebagai wartawan baru. Ide
briliannya seputar rekayasa akun twitter sebagai salah satu strategi politik
sangat diapresiasi oleh pimpinannya.
Berita
utamanya hanum pun naik cetak. Ia sangat
diapresiasi oleh banyak orang. Orang
tua-nya, pimpinannya, reak-rekannya.
Namun tidak oleh Sukmo yang justru merasa terkhianati karena Hanum
melanggar perjanjian dengan menyebut nama bang Belo dan Pak Kemal yang
seharusnya anonim. Juga Nadya yang
belakangan diketahui sebagai anaknya Arif Cayadi yang jadi bahan
pemberitaan. Dan tentu saja Pak Kemal
dan bang Belo. Akhirnya, Sukmo pun melakukan
klarifikasi melalui akun twitternya dan minta maaf pada pak Kemal yang kadung
sudah dihujat banyak orang. Bisnis ‘jasa
twitter’ bang Belo pun hampir pasti gulung tikar. Sukmo pun memutuskan untuk kembali ke Yogya
menyelesaikan skripsinya. Ia pergi
dengan meninggalkan hand-phonenya.
Bukan
maksud hati Hanum untuk mengkhianati kepercayaan Sukmo sebenarnya, namun apa
daya sang pimpinan meminta Hanum untuk segera mengambi keputusan sulit untuk
membuka dua nama yang semula dianonimkan jika ingin beritanya naik cetak
sebagai berita utama. Makanya, rasa
bangga dan suka citanya terkontaminasi perasaan bersalah dan sedih. Ia pun bertekad memperbaiki semuanya. Bagaimana caranya? Mampukan ia megembalikan
kepercayaan Sukmo? Bagaimana dengan Nadya yang marah setelah tahu bahwa Sukmo
dan Hanum-lah yang berada di balik kasus sang ayah? Bagaimana nasib bisnis bang
Belo pasca kehebohan berita akun rancangan itu? Apakah komitmen yang dikejar
Sukmo itu kesampaian? Temukan sendiri jawabannya di bioskop kesayangan Anda
segera! J
---
Menonton
film ini bikin kita mesem-mesem sama manggut-manggut sendiri sambil bergumam
dalam hati “ihh…kayaknya gue BGT deh kayak gitu”. Banyak fenomena seputar penggunaan twitter
mulai dari untuk sekedar mencurahkan isi hati hingga pencitraan diri; dari
masalah cinta, bisnis, sampai politik, semuanya ada di twitter. Karakter Sukmo dan Hanum ya sesama jamaah
twitter taat dari dua latar belakang yang sangat bertolak belakang: Sukmo,
pemuda Jawa sederhana bahkan secara penampilan cenderung ndeso; Hanum, gadis
ibu kota yang modis dan tengah meniti karir sebagai jurnalis. Dua insan berbeda latar budaya dan status
sosial bisa menjadai begitu akrab melalui twitter.
Ada pula Nadya, anak SMA kekasih Andre,
sahabat Sukmo, yang juga penganut jamaah twitter yang tidak kalah taat
sampai-sampai bisa sebegitu keselnya pas ada teman yang meng-unfollow
twitternya tanpa seba “ya masalahnya dia duluan gitu yang nge-unfollow aku, coba
aku yang duluan” gerutunya saat dinasihati Andre untuk tidak terlalu
memikirkannya.
Bang
Belo lain lagi, semenjak hand-phone dengan nomor pin marak beberapa tahun
terakhir ini, usaha warnetnya menjadi lesu sehingga ia pun banting stir dengan
membuka layanan jasa pengelolaan akun twitter orang-orang terkenal yang ingin
eksis di dunia maya tapi tidak memiliki waktu mengurus akunnya karena
sibuk.
Nah,
Kemal yang katanya seorang konsultan komunikasi ini memanfaatkan momentum
ke-boomingan twitter untuk menaikkan seorang tokoh bernama ARIF CAHYADI yang
konon adalah kliennya. Belo pun
diliriknya untuk melancarkan usahanya dalam rangka membentuk pencitraan seorang
Arif Cahyadi, yang belakangan hanya dimanfaatkannya untuk kepentinganya saja.
Di luar
mereka, tokoh-tokoh dalam film ini tidak diceritakan sebagai penganut jamaah
twitter. Andre, sahabat Sukmo sekaligus
kekasih Hanum, malah gak habis piker dengan tingkah polah orang kebanyakan,
terutama anak muda yang disebutnya “generasi menunduk” saking asiknya bercyber
ria via handphone dimanapun. Rika, Cuma jadi
pendukung Hanum dalam hal apapun di luar hobinya bertwitteria yang menurutnya “penuh
kepalsuan”. Arif Cahyadi, sang ‘tersangka
utama” yang ternyata tidak tahu menahu apapun dan dimanfaatkan Kemal saja. Ada lagi senior Hanum peliput berita politik
yang degan liciknya mencuri ide Hanum. Atasan
Hanum yang sering menuntutny auntuk meningkatkan kinerja. Ayah Hanum yang pecinta diskusi interaktif
dan sedikit memaksa Hanum beralih profesi menjadi presenter. Gary, pria metropolis yang naksir Hanum
*kirain awalnya tunangannya*. Ibu dan
Adik Andre yang muncul sekilas-sekilas doang.
Serta Ibu Nadya (Nina Tamam) yang muncul Cuma di satu scene saja pas
ngejamu si Andre di rumahnya.
Secara
umum, nonton film ini asik meski entah ada sedikit perasaan bosa di
tengah-tengah, tapi keseluruhan film-nya asik.
Kisah Sukmo-Hanum tidak mengambil porsi yang begitu besar, malah lebih
banyak seputar tweet men-tweet. Adegan romantisnya
pun tidak lebih dari sekedar good-bye
kiss di pipi sama pelukan yang seinget penulis Cuma sekali aja sepanjang
film, dan paling pegangan tangan. Kisah kasih
Andre yang mahasiswa tingkat akhir sama Nadya yang masih SMA juga cukup unik
ya. Gimana ngambeknya Nadya yang masih
SMA, Andre yang merasa terabaikan sama Nadya yang asik twitteran. Yang juga menari , aktivitas twitteran yang
porsinya banyak di sepanjang film itu terkesan sangat nyata. Terutama di scene-scene di warnetnya bang Belo.
Penulis pribadi jadi mikir “oh…kayaknya gini nih kurang lebih kondisi
para admin-admin suatu situs itu..yang kerjanya hampir 24 jam di depan layar, tidur
disana, dan pantesan yang ngelola itu gak mungkin Cuma satu admin!”, yah
sedikitnya jadi bisa membayangkan suasana kerja mereka.
Tapi,
meski asik ada beberapa hal yang mengganjal sih, sedikit kok. Yang pertama dan terutama, penokohan
Sukmo-Andre sebagai mahasiswa tingkat akhir.
Entah penokohannya atau malah cast-nya yang bermasalah, yang jelas Abimana
dan Ben Nampak terlalu tua untuk jadi seorang mahasiswa walaupun tingkat
akhir. Terus, dandanan Jennifer Arnelita
yang jadi Rika kayaknya agak berlebihan ya terutama di scene awal soalnya
penulis pun sampai yang kesulitan mengidentifikasi awalnya. Di luar itu gak ada masalah, asik, ending
ceritanya pun gak sememaksakan dan seterburur-buru banyak film lainnya *IMO*,
suka lah penulis mah.
Naah,
sekarang yang unik dari film ini…
Suka
sama gayanya Laura Basuki sebagai Dyah Hanum, sederhana tapi modisnya dapet,
ditunjang tubuh jenjang—apalagi kakinya—asik lah liatny.
Karakter
ABG NAdya pas banget, manja-manjanya, ngambeknya, cemberutnya.
Beberapa
dialog yang layak di-RT kalo via twitter:
Karakter
dengan nama Nuil yang sama kayak nama tengah penulis (penasaran Bang Es Ito terinspirasi
darimana) *jadi curhat*
Munculnya
sponsor2 kayak AX*OO, AP**E, B*.
Orang
tua-anak gak ada kemiripan (anaknya bule sama agak Chinese, ortunya Indonesia
tulen)
Beberapa
karakter yang kurang signifikan ke cerita kayak mama-nya Nadya.
Segitu
dulu deh, masih ada satu kisah yang mewarnai perjalanan penulis menonton film
ini, berhubung kalau di post disini kepanjangan, penulis akan bikin sebagai
postingan baru saja yaa dan diumumkan bukan khusus film ini aja. Yang pasti
buat kalian ya para pengguna twitter, gak rugi deh meluangkan waktu nonton film
ini di bioskop terdekat kesayangan Anda *buruan sebelum film-nya turn layar ini
SERIUS!—akan dibahas dipostingan selanjutnya--* J
Arsenal,
please, no more yellow jersey in this season at least guys (believe me,
the blue-turquoise one is much more eye-catching and elegant than the yellow one *IMO*)…
Entah mengapa bawaan kalo liat Arsenal pake jersey berwarna mencrang itu feeling-nya langsung feeling kalah! Gak masuk akal BGT sih, tapi mungkin butuh diselidiki kalo warna itu terlalu ngejreng sampe bikin si pemain pusiing akibatnya banyak: susah ngasih umpan sampe ke depan gawang atau at least penalty area, sering salah umpan, gampang kehilangan bola, kurang bisa menghadang pemain depan lawan di area terlarang dengan baik, efeknya: ya kalah lah! Sebagai pendukung tim asal London Utara ini ya, jujur penulis sih lebih banyak geramnya daripada sedihnya pas liat permainan mereka lawan pemuncak klasmen Serie A dini hari kemarin di ajang Liga Champion. Ini kejadian bukan Cuma sekali aja ya, pas di musim kemarin pun kan coba mereka Nampak selalu kurang beruntung pas make kostum dengan warna yang menyilaukan mata itu. Ngerasa gak sih visitor, terutama kalian pecinta bola khususon pecinta GUNNERS? Kalo gak ngerasa pun gapapa sih, sekedar intermezo dan analisa #ngasal (baca: tanpa sumber ilmiah), jadi #abaikan saja.
nih, ekpresi kegembiraan dengan kostum away biru-turqoisnya
ini ekspresi kekecewaan pas make kostum kuningnya, hayoh masih gak percaya? #abaikan
Okay, ini hasil pertandingan dini hari kemarin pas secara tak terduga pasukan opa Wenger dicukur 4-0 oleh tuan rumah AC Milan di San Siro. Kalau sekedar kalah masih *okay, wajar yaa main away namanya juga, lawan Milan pula*, tapi kalau sampai ada empat gol yang masuk ke gawang Szczesny tanpa balas sekalipun lawannya sekelas Milan apa masih bisa dibilang wajar? Wajar sih kalau Arsenal itu adalah tim medioker yang tiba-tiba bikin kejutan gitu dengan untuk pertama kalinya tapil di fase knock-out Liga Champion. Ini kan, mereka langganan ya sebenernya meski prestasi terbaiknya Cuma samapai final aja tanpa belum pernah berkesempatan membawa pulang tropi-nya ke Emirates. Jadi, kalau dibilang kecewa yakin hampir pasti gak ada yang bilang enggak. Walaupun di leg kedua nanti RVP dkk diuntungkan sebagai tuan rumah, tapi emang mungkin gitu bisa menyamai capaian Rosoneri di kandangnya? Kalau bisa pun, emang akal dijamin gitu kalau bek-bek tuan rumah gak bakal melakukan kesalahan mendasar dengan membiarkan daerah jajahannya ynag mestinya terlarang itu ditembus dengan cukup gampangnya sama pemain depan tim tamu buat cegah mereka bikin gol tambahan? That’s all still a mysterious mystery.
ohh...malangnya kau Szczesny, musti mungutin 4 gol di gawangmu sendiri mas...
Di atas masih lanjutan curhat dari peragraf pertama ya *kacau*, tapi ini mah beneran review pertandingannya. Mengawali laga dengan cukup seru, sang tuan rumah akhirnya berhasil mejebol gawang Szczesny melaui sontekan kaki mantan pemain Spurs, Andre Prince Boateng, di menit ke-15 sehingga kedudukan pun 1-0 untuk Rosoneri. Setelah unggul satu gol, Ibra dkkk malah makin gencar melalkukan serangan. Sebelum lahirnya gol kedua delapan menit sebelum turun minum oleh Robinho yang mnerima umpan dari Ibra, Nocerino terlebih dahulu mengancam gawang-nya Szczesny yang gagal berbuah gol karena masih terlalu tinggi. Babak pertama pun berakhir dengan keunggulan 2-0 bagi tuan rumah, sementara tim tamu hampir tidak memiliki peluang yang membahayakan.
Ibrakadabra, si Man of the Match...
Selepas turun minum, Thiery Henry masuk menggantikan Theo Walcott dari kubu tim tamu yang sepertinya hendak melancarkan strategi baru. Sayang, rupanya seorang Henry tak cukup berarti setelah Robinho ustru kembali menjebol gawang tim tamu untuk yang kedua kalinya sekaligus menciptakan gol ketiga bagi tuan rumah di menit 49. Pasca gol ketiga itu, GUNNERS yang sudah sangat gerah mulai melancarkan serangan--yang masih sering terpatahkan oleh kuatnya pertahanan lawan—dan menciptakan sejumlah peluang. Sejumlah peluang dari tendangan sudut hingga tendangan bebas dari Arsenal kebanyakan masih mampu diatasi oleh kipper tuan rumah, yang kalau gak ditepis ya pas di pelukannya. Justru, satu kesalahan yang Cuma menambah beban tim tamu terjadi di menit ke-79 saat Djorou yang masuk menggantikan Koecielny menjatuhkan si Ibrakadabra yang akhirnya sukses merobek gawang Szczesny *yang sudah sangat speechless dan frustasi* melalui titik putih. Beruntung, sampai akhir laga tidak ada gol lain yang tercipta hingga skor 4-0 pun tidak semakin membengkak. Padahal, di menit ke-84, Pato masuk menggantikan pemian Brazil lainnya, Robinho. Sekali lagi, beruntung GAK ADA GOL TAMBAHAN KE GAWANG TIM TAMU.
Berasa reunian tim mana yaa.....??? *gak usah dijawab*
Okay, sebuah hasil yang bukan lagi dramatis ya tapi tragis. Terlalu kecewa penulis sampai tak mampu lagi bersedih. Gak berani berharap yang muluk-muluk dan berharap untuk sebuah keajaiban yang entahlah akan pernah terjadi atau tidak. Jika tim yang bermarkas di Emirates Stadium ini bisa menguras permainan terbaiknya *tanpa (perlu) mengaharapkan kubu lawan berada dalam kondodisi yang sebaliknya* dan mampu menguatkan mentalnya serta yang tak kalah penting diliputi keberuntungan, tentu keajaiban berupa keterbukaan peluang itu masih sangat mungik ada. Jadi, sekarang judulnya adalah menanti keajaiban yang akan datang jika konon kita mmepercayainya seperti kata seorang diva pop dalam lirik lagunya “there can be miracle when you believe”. Tapi, penulis sangat yain ya keajabian itu juga tidak akan muncul secara tiba-tiba dan sendirinya. Tidak cukup hanya keyakinan, usaha dan kerja keras juga dibutuhkan. Naah, keduanya akan muncul tentu jika mereka percaya bahwa kesempatan itu masih sangat ada walaupun kecil bagi mereka, so you guys please do your best in Emirates, we always here standing by you!
Tearkhir, sedikit persembahan untuk Gunners kebanggaan penulis…
There can be miracles, when you believe Though hope is frail, it's hard to kill Who knows what miracles you can achieve When you believe, somehow you will You will when you believe
14
Februari sebelas tahun lalu, waktu itu penulis yang baru saja kembali ke
sekolah setelah menghabiskan dua per tiga dari waktu istirahat penulis yang
berdurasi tiga puluh menit di rumah *berhubung rumahnya belakang sekolah*,
tiba-tiba saja penulis diinterogasi salah seorang kawan sekaligus ‘musuh’
penulis.
“kamu
kemana aja sih?” tanyanya serta merta,
“dicariin
juga dari tadi!” tambahnya.
“emang
kenapa?” penulis balik nanya.
“iya,
kemana dulu tadi?” katanya lagi kekeuh.
“ke
rumah kan kayak biasa, kenapa sih?” jawab penulis yang jadi penasaran.
“Itu, tuh dicariin si anu, mau ngasih sesuatu”.
“apaan?”
“tar
aja deh liat”
Bel
pun berdering, waktunya masuk kelas. Dan,
drama itu pun berlanjut di kelas yang kebetulannya masih belum ada guru. Penulis duduk di bangku paling depan di
barisan kedua setelah pintu atau ketiga dari meja guru yang terletak di pojok
depan kelas. Teman penulis yang tadi
menginterogasi duduk pas disebrang penulis, barisan pertama dari pintu di
bangku terdepan. Alhasil, komunikasi dan
koordinasi seputar permasalahan dicariin dan mengasihi pas istirahat tadi
berlanjut tanpa ada kendala berarti. Penulis
sih sok cuek ya, emoh nanya duluan gitu, sampai akhirnya buka suara lah dia.
“hey,
nih kata si anu” katanya sambil nujuk ke
teman sebangkunya.
“apaan
sih?” kata penulis sok risih padahal seneng tea.
“ini
nih, mau ngasihin ini” balasnya sambil menyodorkan sesuatu berbentuk persegi
panjnag pipih yang bersambul kertas kado.
“apa
ih?” reaksi penulis sambil naik-naikin bahu ekspresi gak mau bercampur kaget
dan malu aja.
“ini
nih, ambil dong dari dia nih” katanya lagi sambil terus menyodorkan benda yang
disinyalir adalah cokelat seraya menunjuk orang yang di sebelahnya lagi.
Tanpa
bersuara, berkali-kali penulis mengangkat bahu sambil melipat tangan supaya gak
bisa ngambil barang itu. Sialnya, meja
penulis gak lama jadi dikerubutin orang-orang yang berdatangan saking bawelnya
temen sebangku penulis yang ikutan maksa ngebujukin buat ngabil tuh ‘kado’. Penulis bergeming untuk tidak mengamil,
temen-temen penulis heboh suruh ngambil.
Ada satu temen penulis yang terus bilang:
“kasian,
dia udah beli pake uangnya sendiri loh”
Penulis
akhirnya menolehkan kepala ke bangku si teman tadi, dan sayangnya orang yang
konon si pemberi cokelat yang memang pas saat itu sudah cukup lama terlibat
perang dingin dengan penulis yang entah karena apa itu malah lururs-lurus aja
liat ke depan walaupun sesekali kayak tersipu gitu. Gak tega juga, tapi penulis kadung malu,
padahal sempet dikompor-komporin temen sebangku:
“udah
ih amabil aja, itu cokelat loh, ambil aja terus nanti aku minta ya” kurang
lebih begitu.
“cokelat?
Mau BANGET” kan jerit penulis dalam hati.
Mau banget juga sih ngambil, tapi malunya itu loh…ahh..si temen pake
ngeyakinin kalo si pemberi ‘kado’ bener-bener beli kado yang belakangan adalah
memang benar cokelat itu pake uang yang konon dia kumpulin sendiri, bukan minta
orang tuanya *beli cokelat seharga sekitar lima ribu taun segitu untuk ukura
anak berseragam merah putih memang bukan jumlah yang sedikit juga kan*.
“bener
loh, dia beli pake uangnya sendiri, bukan minta dari mama-nya” bujuknya.
Penulis
masih ekkeuh ogah, sampai akirnya temen-temen penulis yang melakukan intervensi
terhadap kasusu itu berinisiatif measukan ‘kado’ tersebut secara paksa k etas penulis. Tadinya udah mau penulis keluarin lagi, namun
apalah daya pasti mereka masukin lagi, jadi yasudahalah..”cokelat juga kan” piker
penulis *sedikit licik*. Mereka yang
mersa berjasa atas suksesnya cokelat itu sampai ke tangan penulis di akhir
berkelakar “ehh..tar bagi ya cokelatnya”.
“enak aja” batin penulis.
Akhirnya
drama itu pun berhenti setelah misi memberikna cokelat itu terlaksanan dan sang
guru masuk. Sekitar satu setengah jam
kemudian, bel pulang pun berbunyi, dan penulis segera ngacir sebelum ditagih cokelatnya
*licik BGT gak sih, haha*. Pas di jalan
bareng temen, masih sempet-sempetnya si temen yang tadi ikut ngebujuk masukin
lagi sesuatu yang bekalangan adalah sepucuk surat yang konon masih dari orang
yang sama. Malu, aneh, tapi sebenernya
seneng juga sih *modus*. Akhirnya ke si
teman yang penulis anggap berjasa ini penulis janjikan buat ngasih cokelat,
sebagai tanada terimakasih sekaligus biar gak ketahuan kalo sebenernya penulis
seneng dikasih tuh ‘kado’.
Pas
di urmah, tanpa membuang waktu, penulis segera masuk ke kamar, kunci pintu,
terus buka tuh kado deh yang ternyata isinya cokelat putih *rasa susu* merk
terkenal. Dalam hati begitu tau penulis
langsung menggerutu “ih..kok bukan yang cokelat aja sih” *gak bersyukur BANGET ya
gue*. Tapi ya udahlah, yang enarik
ternyata di atas bungsuk cokelatnya si pemberi menyematkan satu ucapan pake
caps lock “HAPPY VALENTINE”.
“VALENTINE?????”
tanya penulis dalam hati bingung…..
***
“Valentine????”
otak penulis seketika dipenuhi satu kata itu.
Sebelum memikirkan artinya, penulis lebih dulu dibikin bingung sama
gimana-cara-bacanya “va-len-tin”, “va-len-tain”, “ve-len-tin”, dan
lain-lain. Usut punya usut, tanya sana
sini dulu, akhirnya penulis pun menemukan jawaban dari pertanyaan itu. Katanya kata itu bermakna hari kasih sayang
dan di hari itu kita ngasih sesuatu buat nunjukin rasa sayang kita ke orang
yang kita sayangin, bisa pake bunga, boneka, kue, atu yang paling umum ya
cokelat, kayak yang penulis terima. Dan,
itulah pertama kalinya penulis ngeh dan kenal sama yang disebut “Valentine”. Setahun setelahnya penulis amsih sempet
merayakan hari yang diperingati saban 14 Februari itu dengan cara bertukar kado
dengan teman, kado kecil-kecilan, jajanan gitu.
Naah, tahun berikutnya penulis keburu dikasih tau bahwa ternyata
perayaan 14 februari itu gak boleh karena ini itu dan banyak hal yang intinya
mah dilarang. Meski masih percaya gitu
aja tnpa tau landasan pastinya, tapi penulis sudah bertekad untuk tidak
merayakannya lagi. Nah, maka pastaun
depannya temen penulis ngasih, penulis dengan berat hati hanya bisa mengucapkan
makasih tanpa bisa ngebales. Semakin besar,
penulis semakin banyak menemukan pernyataan dan informasi seputar pelarangan
perayaan ini menurut keyakinan penulis, gak jarang juga nemuin selebaran yang
isisnya intinya seputar bahaya si Valen sama nTin ini, dan ya pada akhirnya
penulis memngerti dan sampai saat ini tidak membudayakan malah sudah tidak
kenal lagi dengan Valentine yang diperkenalkan oleh si pemberi cokelat sebelas
tahun lalu yang adalah juga anak sekolah dasar saat itu. Begitulah kira-kira drama 14 Februari yang
membuat saya mengenal kata yang kini sudah tidak ada lagi dalam kamus
saya. We share love to everyone, wherever and whenever no matter what when we
are care each other. J