Rabu, 29 Februari 2012

North London's Derby: When London Belongs to (the) Red




Hasil gemilang di Emirates Stadium ahad (26/02) lalu seolah mengalihkan public dari hasil-hasil minor yang ditorehkan pasukan Arsene Wenger ini baik di ajang Eropa maupun piala Liga yang berakhir dengan kekalahan menyakitkan.  Rivalitas kedua tim mebuat atmosfer pertandingan terasa sangat panas bahkan sebelum kick-off babak pertama dimulai.  Sebagai sesama tim asal London Utara sudah bukan rahasia lagi bila keduanya merupakan musuh bebuyutan yang bahkan kini hanya terpaut satu tangga di papan klasmen, meski secara selisih poin tim yang setingkat di atas posisinya msih relatif aman.  Performa tim tamu yang konsisten berbanding terbalik dengan si tuan rumah yang fluktuatif tak karuan sehingga tidak heran bila banyak yang kemudian lebih menjagokan tim berjuluk “the lilywhite” itu ketimbang “the gunners”.  Namun, sekali lagi setimpang apa pun kualitas kedua tim di atasa kertas, namun derby tetaplah derby yang selalu panasa dan sering kali tak terduga!

Dan, menjelang turun minum, perkiraan banyak orang itu pun seolah akan menjadi kenyataan setelah Luis saha dan Adebayor berhasil memaksa Szcezny  memungut bola dua kali dari gawangnya.  Kemenangan yang amat dinantikan itu sepertinya sudah sangat condong ke kubu tim asuhan Harry Redknap.  Namun, hey, ini sepak bola bung!  Selama bola masih bergulis apa pun masih sangat mungkin terjadi.  Diawali oleh gol Bacary Sagna di menit ke-40 setelah menerima umpan dari Mikael Arteta, dua menit berselang pemain yang tengah berpedar terang bintangnya tahun ini pasca peninggalan Fabregas, Robin van Persie menunjukkan kelasnya dengan membuat gol penyeimbang lewat gol cantik dari sudut sempitnya.  Dan, permainan yang sesuangguhnya dari si tuan rumah yang sudah lama terluka akibat sejumlah kesalahan karena kecerobohannya sendiripun di mulai.

Kekalahan 4-0 di leg pertama perdelapan final Liga Champion serta 2-0 dari Sunderland yang bahkan barus aja dikalahkan di liga domestic pekan sebelumnya tidak cukup berpengaruh untuk meluluhlanytakan mental RVP dkk.  Telebih mengingat laga ini mrupakan derby penuh gengsi, tentu para punggawa Arsenal tidak mau melewatkannya begitu saja.  Terbukti, penampilan impresif mereka di paruh akhir babak pertama terus berlanjut di babak kedua yang berbuah tiga gol dari Thomas Rosicky dan Theo Walcott (2 gol).  Hingga laga usai, skor 5-2 tidak lagi berubah, dan akhirnya Arsenal pun keluar sebagai pemenang dalam derby tersebut yang mengembalikan posisinya sebagai Raja London. 


Okelah memang di papan klasmen, kemenangan tersebut hanya mampu membuatnya naik satu tingak ke posisi 4, masih tertinggal tujuh poin dari tim yang barus aja dikalahkannya tersebut.  Namun, yang menarik, naiknya posisi tim berjuluk Gudang Peluru ini memaksa tim asal London lainnya, Chelsea yang jga sedang mengalami inkinsistensi, untuk turun satu peringkat ke posisi 5 karena meski poinnya sama namun selisih gol Arsenal masih lebih baik.  Well, nampaknya selain derby Manchester di peringkat 1-2, derby London pun sangat seru di peringkat 3-4-5.  Dan, jangan lupakan Liverpool yang baru saja menjuarai Carling Cup.  Well, dua posisi teratas Nampak sudah tak mungkin terkejar, biar menjadi jatah tim Manchester.  Namun, untuk posisi 3-4 masih terbuka pelunag bagi empat tim tadi.  Kan, jatah Liga Champion hanya empat ya, maka selmat bersaing tim London! #GGG J

Selasa, 28 Februari 2012

It's All About Her This-Year-Wishes


Ini adalah kisah mengenai seorang gadis, mengenai harapan, cita-cita, serta prioritasnya di tahun ini, pasca tanggal penting dalam hidupnya. Tanggal yang menjadi alarm baginya untuk serius menyusun dan tentu saja melaksanakan targetan-targetannya tersebut.  Penasaran? Beginilah kisahnya….

Tiga hari yang lalu gadis ini genap berusia 22 tahun.  Sebuah sudut di rumah sakit umum terbesar di kotanya tinggal mmenjadi saksi bisu kehadirannya di dunia ini.  Terlahir sebagai anak pertama dari pasangan yang telah menikah selama dua tahun sekaligus cucu perempuan pertama (dari tiga cucu) dari pihak sang bunda dan cucu keempat dari pihak sang ayah (dua lelaki, satu perempuan), bayi perempuan mungil sepanjang 51 cm dan seberat 3 kg ini kemudian diberi nama Febriyani Nuril Akmaliyah.  Febriyani diambil dari bulan kelahirannya (febri untuk Februari, Yani sebagai indikasi anak perempuan *sotoy*), Nuril diambil dari gabungan nama depan orang tuanya sebetulnya namun masih menyandang arti dari Nur itu sendiri yang adalah cahaya, dan Akmaliyah diambil dari bahasa Arab seperti halnya Nur yang berarti sempurna.  Jadi jika disimpulkan Febriyani Nuril Akmaliyah bisa jadi berarti ‘Anak Perempuan yang lahir di bulan Februari dengan Cahaya Kesempurnaan ‘ atau Peremepuan dengan Cahaya Sempurna yang lahir di bulan Februari’ (100% interpretasi sendiri tnapa mengacu kemanapun, jadi jangan asal percaya! Haha).  Jika demikian adanya, (sudah sempurnakah) si gadis?


Belum, tentu saja belum dalam hal-hal tertentu dan tidak untuk beberapa hal.  Secara konkrit sama sekali tidak sempurna, secara abstrak masih berproses menuju kesempurnaan.  Memang, sebagai wanita si gadis pastilah cantik *kan tidak mungkin ganteng*, namun dibandingkan dengan gadis seumurannya si gadis secara tampilan konkrit kalah menarik.  Tak apalah, mungkin kesempurnaan itu sesuai namannya terpancar melalui cahaya yang secara abstrak muncul dari apa yang menurut orang disebut sebagai aura *SOTOY ABIS SUMPAH, #ABAIKAN!*.  Apa pun itu, si gadis memang sedang berproses menuju pribadi yang berkali lipat lebih baik seiring dengan semakin berkurangnya jatah tinggalnnya di dunia ini.  Meskipun yang konkrit dirasa sulit untuk diperbaiki, namun toh sangat banyak yang bisa ia perbaiki bagi yang abstrak.

Kini di usianya yang sudah memasuki fase dewasa awal berdasarkan teori psikologi, tentu kedewasaan dalam arti seutuhnya menjadi salah satu resolusinya di tahun ini.  Dewasa dari segi karakter, emosi, pribadi dan tentu saja finansial yang pada akhirnya terangkum dalam harapan atau yang dikenal sebagai “birthday-wish”nya si gadis di tahun ini. 

Dimulai dari finansial.  Di usianya yang memasuki tahun keduan di dasawarsa ketiganya ini, si gadis masih didukung secara finansial oleh orang tuanya.  Baik si gadis maupun orangtuanya belum mempermasalahkan mengingat statusnya yang masih mahasiswa.   Si gadis ini pada awalnya memang tidak ngotot untu lulus sesegera mungkin dan justru mengamini pendapat seorang temannya tentang lulus pada waktu yang tepat; namun seiring waktu kesadarannya untuk segera memberi hadiah terindah atas jerih payah orang tua membiayai kita hingga detik ini pun akhirnya tak terelakan lagi mengingat adik kedua dari empat adiknya akan masuk kuliah di tahun ajaran baru ini yang berarti beban biaya orang tuanya pun akan semakin membengkak.  Carannya? LULUS ASAP!  Jadi ya itu, akhirnya wisuda di penghujung tahun ini pun masuk dalam daftar prioritas si gadis di tahun ini meskipun ia hingga berita ini diturunkan bahkan masih belum kepikiran mau mengangkat apa untuk (setidaknya) proposalnya!


Kedua, dari segi pribadi.  Selain sebagai seorang mahasiswa yang bergelut dengan kegiatan akademik seperti mengerjakan tugas, hadir di kelas, dan segala tetek bengeknya dan aktivis yang bergelut dengan aktivitas peryarikayannya mulai dari rapat, merancang hingga melaksanakan sejumlah program, berikut kunjungan daerah, si gadis ini tentu saja masih berstatus sebagai anak yang masih menjadi hak orang tuanya dan memiliki kewajiban terhadap orang tuanya sepenuhnya.  Karenanya, si gadis kini mulai berpikir untuk segera mandiri sebagai seorang pribadi dengan berganti status dari anak menjadi calon orang tua dan dari siswa menjadi calon guru.  Caranya? Melaksanakan sunah rasul dan segera mengajar!  Yap, rasanya ini sudah the right time for getting the right one juga the rigt time for spreading and sharing out my knowledge.  Sesuai apa yang diharapkan sekaligus juga doa barangkali dari sang bunda yang ingin si sulung segera lulus supaya segera memulai kehidupan baru sebagai pendamping seseorang, si gadis pun sangat mengamini harapan itu sekali pun sampai detik ini si mr. right itu masih sangat sangat sangat misteri bagi si gadis yang masih suka galau *kadang pengen segera, sering kali ditinjau ulang untuk segera*.  Makanya, kemandirian dalam hal ini bakal jadi prioritas di kala si gadis setidaknya telah melewati tahapan disang skripsi, yah semacam urusan setelah selangkah menuju LULUS KULIAH.  



Untuk perubahan status yang kedua yang sebenarnya sudah menjadi hasratnya sejak beberapa tahun terakhir namun terlalu banyak kendala sudah sangat ingin diaplikasikannya di tahun ini.  Dan, Alhamdulillah, kesempatan itu terbuka di awal bulan depan yang meskipun sama sekali tidak profit *hanya dihonor seongkoseun*, tapi disambut dengan sangat hangat dan terbuka oleh si gadis sebagai ajang pemanasan dan pengasahannya sebelum terjun secara resmi ke medan yang sesungguhnya smester depan.  Ke depan, mudah-mudahan mengajar bisa segera menjadi profesi yang akan engahntarkan si gadis meraih kemandirian dari segi finansial.

Dari segi emosi dan karakter, ya penulis ini sebetulnya tipe pecinta kedamaian dan pengalah di luar meskipun tak jarang bisa meledak-ledak juga kalau di rumah.  Dengan orang lain penulis paling enggan menuai konflik yang kadang tanpa diundang pun tercipta dengan sendirinya dalam kehidupan bersosialisasi mengingat banyaknya pribadi dan karakter yang tentu saja berbeda satu sama lain yang terlibat disana.  Bahkan si gadis cenderung rela terkorbankan perasaannya demi terciptanya perdamaian.  Kasarnya, si gadis lebih rela dia yang meafkan orang lain daripada mesti orang lain yang memaafkannya yang menurutnya belumm tentu semudah yang pertama.  Tapi, jangan salah, plis si gadis bukan 100% malaikat, ia pun sama seperti yang lain bisa merasakan marah dan kesal.  Bahkan ia pun bisa meledak-ledak, di rumahnya!  Tapi ya gimana mungkin karena rumah dan keluarga itu ya tempat semua orang bisa benar-benar menjadi dirinya sendiri karena seburuk apa pun mereka tetap bisa menerima dan memaffkan kita. 

Si gadis contohnya, semarah apa pun ia pada keempat adiknya, akan sangat-sangat mudah baginya untuk menghapuskan bahkan melupakan kemarahannya serta memaafkan adik-adiknya.  Bukan tidak pernah juga si gadis kesal pada kedua orangtuanya yang meski bisa sampai perang dingin beberapa hari tapi di batinnya ia segera langsung menyesali kekesalan atau sikap kesalnya pada kedua orangtuanya—hanya soal gengsi saja yang tidak membuatnya segera kembali normal.  Karenanya, besar harapan si gadis di usianya yang sekarang ini ia sudah jauh lebih mampu mengatur emosinya terutama terhadap keluarga tercintanya serta mulai menunjukkan karakter agar memudahkan untuk mulai menjadi subjek bukan dominan sebagai objek lagi di lingkungan sosialnya.


Begitulah harapan, cita-cita, sekaligus prioritas si gadis di tahun ini yang jika dirangkum maka prioritas utamanya ada di menyelesaikan studi yang nantinya akan berimbas pada kemandirian baik secara pribadi dengan menemukan si mr. right juga secara finansial dengan berkesempatan menjadi pendidik yang sesungguhnya dengan didukung kematangan emosional dan karakter yang kuat.  Semoga seluruh harapan dan cita-cita si gadis terkabul ya, untuk itu mari doakan bersama-sama supaya semuanya itu tercapai..aamiin!


Jumat, 24 Februari 2012

Dilema: Ketika Pilihan itu Bak Buah Simalakama




Pemain: Reza Rahardian, Ario Bayu, Baim Wong, Pevita Pearce, Slamet Raharjo, Roy Martin, Tio Pakusadewo, Jajang C. Noer, Winky Wiryawan, Wulan Guritno, Ray Sahetapy, Lukman Sardi
Sutradara: Adila Dimitri, Bobby Eryanto, Robert Ronny, Yudi Datau, Rinaldi Puspoyo
Produser: Wulan Guritno, Adila Dimitri
Sinopsis:

Upacara di lapangan kepolisisan membuka kisah film ini.  Ada Ario (Aryo Bayu), perwira pplisi yang baru saja dipindahtugaskan dari Medan (akan diketahui menjelang akhir film) yang sudah ditunggu Komandan Bowo (Tio Pakusadewo) di parkiran.  Dan, setelah permintaan maaf mebuat menunggu mereka pun bermobil bersama menuju satu titik.

Di sudut lain, sekelompok masa yang mengatasnamakan jamaah anu (mirip front pembela agama itu loh) sedang menggelar shalat berjamaah dengan diimami Ibnu (Baim Wong) yang bersama rekannya Said (Wingky Wiryawan) hendak memimpin ‘perjuangan’ memberantas ormas lain yang dinilai menyimpang dan menodai agamanya.  Puluhan polisi sudah bersiaga menghadapi kemungkinan bentrokan dan kerusuhan yang memang sudah tak terelakkan lagi. Di tengah-tengah bentrokan terlihat Ario yang baru saja memarkir mobilnya bersama komandan Tio berusaha menyelamatkan seorang nak kecil yang berteriak-teriak “Abi…..Abi……” dan lalu buuuk! Sebuah pukulan mendarat di kepala Ario.  Gelap.

DILEMA besar-besar muncul di layar gelap tadi.  Kisah pun beralih ke sebuah pantai dimana seorang gadis muda nan jelita Dian Wibisana (Pevita Pearce) sedang  menikmati berjemur di bawah terik matahari pantai tak jauh dari hingar binger pesta yang memecah ‘kedamaiannya’.  Sempat dihampiri seorang pemuda yang hendak mengambil bola sambil mengajaknya bergabung, ia menolak, “gak perlu diundang gue bakal datang sendiri kalau gue mau” jawabnya datar atas ajakan itu.  Tidak lama ia dihampiri lagi, kali ini oleh seorang perempuan hamil yang mengenalkan dirinya sebagai Rima.  Setelah berbincang beberapa saat mereka pun menjadi akrab bak kawan dekat.  Akrab dalam hitungan jam, hati-hati!

Kembali ke ibu kota, di sebuah ruangan yang tertata rapi, Adrian (Reza Rahardian) kedatangan seorang tamu bernama Hetty (Jajang C. Noer).  Wanita paruh baya yang ditemani dua pengawal itu menyerahkan sebuah kartu nama dan memintanya mengunjungi orang yang disebutnya Bapak di alamat tersebut.  Sempat tak acuh, ia pun acuh juga setelah kawan sekaligus rekan kerjanya (Abimana) menyebutkan nama Soni Wibisono setelah membaca kartu nama yang tergeletak begitu saja di atas meja.  Sempat ragu, ia pun akhirnya menyempatkan diri memeuhi undangan itu.  Disambut Hetty yang menjanjikan bahwa ia akan pulang dalam keadaan baik-baik saja, iapun menunggu sosok SW yang tersohor dan entah mengapa mengundangnya itu.

Di sudut Jakarta lainnya, di kawasan pinggiran, seorang lelaki paruh baya yang belakangan diketahui bernaa Sigit (Slamet Raharjo) perlahan-lahan kembali masuk ke kasino tempatnya bermain judi, aktivitas yang sudah cukup lama ia tinggalkan dan menyebabkannya ditinggalkan anak istri.  Sekedar melintas tadinya, toh ia kembali tergiur untuk beraksi lagi, apalagi pasca melihat jam warisan kesayangannya yang ia gadaikan akibat kekalahan berjudi.  150 juta, harga yang tidak sedikit, untuk menebusnya.  Sempat diperingatkan (Lukman Sardi) untuk segera pulang dan tidak lagi terlibat dalam perjuadian itu, ia malah justru menerima tantangan si empunya kasino (Ray Sahetapi).  Bermodalkan pinjaman sepuluh juta, sekali dua kali main ia kalah, merugi, berhutang.  Pinjam Lukman Sardi tak diberi, seseorng akhirnya bersedia meminjaminya dengan bungan 25% per hari (judi..oh judi).  Sebagai mantan penjudi tangguh, tanpa ragu ia banyak melakukan all in.  Dan, tidak sia-sia, jam tangan seharga 150 juta itu pun kembali ke tangannya, tepat sebelum polisi menggerebek lokasi kasino serta meringkus semua yang ada disitu.

Sementara itu, Soni Wibisono (Roy Marten) orang paling ‘disegani’ an mengaku sebagai penguasa Jakarta tengah dalam kondisi sakit.  Istrinya telah meninggal, anak perempuannya tak mungkin mau meneruskan dan mewarisi bisnisnya katanya satu kali.  Maka, ia yang merasa kerja kerasnya selama ini mesti ada yang melanjutkan memutuskan memanggi anak lamanya, untuk memberi tahu sekaligus mewariskan apa yang ia punya.  Sayang, orang yang ditunggunya dengan sedikit gugup sekaligus harapannya menolak mentah-mentah.  Apalagi setelah tahu bahwa kemapanan karir dan keberhasilan hidupnya selama ini adalah hasil campur tangan orang yang sekarang tiba-tiba mengaku sebagai anaknya.  Ya, dialah Adrian.  Adrian lantas pergi setelah mengamuk, merebut pistol dan Laptop SW.  Hetty pun tak kuasa mencegahnya. “Biarkan anak itu pergi” kata SW kemudian sambil terengah-engah.

Malam harinya, Ario menemani komandan Bowo alam sebuah operasi penggerebekan sebuah rumah kasino.  Lokasi dimana ia menyksikan sendiri seorang yang amat ia kenal ikut diringkus dalam penggerebekan itu, seseorang yang tadinya ingin ia beri kejutan namun malah justru mengejutkannya.  Kejutan apakah itu? Di sebrang pulau, di tepi pantai, Dian akhirnya mau bergabung di perta yang diadakan Raymond dan bersedia meminum obat yang diberikan Rima, barang yang sebenarnya sudah ia tinggalkan.  Ia menari, ngobat, hingga bercinta untuk sejenak melupakan kepenatan ditinggal sang bunda tercinta dan ‘ditelantarkan’ sang ayah yang takan mencarinya menurutnya.  Apakah kesenangan malam itu akan memberikan kehidupan baru baginya?  Bagiamana dengan sang ayah?

Sementara di sudut ibukota lainnya, Ibnu yang tersadarkan akan demo-demo tak bertujuan yang malah menciderai agamanya dan membuatnya dijauhi sang gadis pujaan mulai ‘tobat’ hingga membuat Said, yang belakangan diketahui menjual agamanya dengan memprovokasi kawan-kawannya berdemo dan mebuat aksi kekacauan lainnya dengan disokong para donator sekaligus dalang yang salah satunya adalah SW, begitu marah.  Apakah ia akan benar-benar berhenti? Mampukan ia menyadarkan Said yang masih memiliki anak perempuan kecil?  Lalu akankah Adrian bisa bebas begitu saja setelah ‘pemberontakan’nya atas SW--terlebih dengan membawa laptop yang berisi data-data berharganya? Lantas bagaimana nasib kerajaan SW pasca peninggalannya kelak setelah sia hali waris yang diharapkan justru menolak bahkan memberontaknya?  Apa yang akan ia lakukan pada anak ‘durhaka’ tak tahu diuntung itu?  Akan setega apa pada anak kandungnya? Nasib anak perempuannya pun bagaimana?  Bagaimana pula nasib sang penjudi yang setelah terbebas berkali-kali berkat nama besar ayahnya yang orang penting di kepolisian itu pasca diringkus di tempat kasino itu?


Temukan semuanya di film DILEMA ini, buruan kunjungi bioskop terdekat kesayangan Anda sebelum film ini turun bioskop (lagi-lagi, untuk kesekian kalinya, nonton hanya bertemankan kurang dari sepuluh orang lainnya di bioskop yang berkapasitas sekitar 200 orang).


***
he always charming! 
Lima cerita yang akhirnya menyatu.  Alasan utama penulis menonton film ini tak lain dan tak bukan karena sosok aa REZA RAHARDIAN.  Jadi pengusaha muda yang sukses walaupun yatim piatu sejak kecil.  Hidup di panti asuhan setelah ortunya wafat dalam sebuah kecelakaan, hidupnya yang seharusnya sulit itu entah mengapa terasa begitu mudah dengan beasiswanya dan kesuksesan bisninsnya sekarang.  Usut punya usut ternyata semua bisa menjadi begitu mudah karena semua itu dirancang oleh seseorang.  Beasiswa itu, perusahaan itu.  Kebayang gak remuk redamnya, usaha dan kesuksesan yang selama ini kita bangun susah payah dan bangga-banggain ternyata adalah hasil ‘karya’ orang lain.  Water lah si aa disini mana endingnya…ahh…so poor lah aa Reza disini.

Setelah sekian lama *ehh…pernah nonton apa ya filmnya dia the? Eiffel gitu ya?—lupa*, akhirnya liat lagi Pevita Pearce di layar lebar!  Doi berani pisan lah disini.  Berbikini ria, ciuman—bahkan sama tokoh Rima (Wulan Guritno) yang entah bener nempel dan emang Cuma secup udah atau efek sensor juga, yang jelas latar-nya remang-remang jadi emang samar, sampai adegan ranjang segala.  Karena settingnya pantai kali ya, ahh dunno lah, yang jelas doi jadi cewek frustasi yang berkali-kali nyoba bunuh diri *ada luka bekas sayatan di pergelangan tangnnya di salah satu scene* dan berhasil dibujuk kemblai ngobat.  Wulan Guritno juga Nampak sangat berbeda disini dengan rambut pendeknya.  Tadinya sebelum sadar doi ternyata pengedar gitu, kirain mau jadi lesbi disini apalagi pas ada adegan nyium si Dian (Pevita).

Yang rada ganggu dari film ini buat penulis yakni jambang Said yang kalo dari deket keliatan pisan lah palsunya!  Terus ya gak tau kurang suka juga sama perannya, kurang ngena.  Belum lagi tempelan kayak pamflet sedanya *dari kertas tipis yang warna-warni* bertuliskan “Pemerintah Vs Pejuang”.  keliatan Banget maksanya, meski ditempel di berbagai sudut tapi tetep kesan maksainnya buat penulis pribadi loh ini tetep kerasa ganggu!   Terus sub-tittle yang ada di film ini juga jadi bikin penulis geli buat curi-curi liat dan ngebandingin (karena kebetulan konsentrasi studi penulis di penerjemahan) sampai-sampai sesekali ya kelewat aja adegan-adegannya, begitu.  Tapi, diantara semuanya yang paling bikin penulis berkali-kali mengrenyitkan dahi adalah latar waktu yang gak sinkron antara satu kisah dengan kisah lain, perasaan sepanjang adegan aa Reza itu full cahaya matahari meski dalam kamar; di Pevita ada pagi-siang-malam-pagi; di Ario pagi-siang-malam; di Slamet Raharjo siang-malam; di Baim-Winky siang-malam-subuh.  padahal mereka seolah satu kesatuan cerita kan pada akhirnya mah, nah loh?

Secara keseluruhan film ini mood-nya suram,  gambarnya, settingnya, karakternya.  Iya, makanya dikasih judul DILEMA juga karena begitu kali ya.  Nonton lah, cast-nya bagus-bagus, ceritanya juga sedilematis judulnya, klimaksnya, kalo bagi penulis dapet meski ada beberapa hal yang kalau bagi penulis mesti butuh penjelasan lebih lanjut kayak tokohnya om Tio yang polisi oknum korupsi.  Menonton film ini seorang diri tidak membuat penulis menyesal karena dengan mood suram tadi film ini berpotensi membuat penonton-penonton tertentu cepat bosan *bahkan penulis sendiri sempat sekali dua menguap, heu*.  Setidaknya penulis gak perlu merasa gak enak karena mengajak teman yang ternyata merasa menonton film ini hanya buang-buang duit soalnya filmnya bosenin banget *sudah terlalu pesimis dengan penonton Indonesia yang dalam hal ini teman2 penulis,--so sorry guys*.  Ehh..yang unik juga, menonton ini entah mengapa bikin penulis sedikitnya ngeh sama istilah-istilah di meja judi kayak “all in” sama “full house”!  yang jelas, yuk semarakan film Indonesia berkualitas dengan menontonnya di bioskop! J


Senin, 20 Februari 2012

Fenomena Penonton Tanah Air: Horror Yes, Non-Horor...nonton gak ya???


Pertama kali tahu preview film ini pas lagi buka laman Facebook-nya bang Es Ito, sang penulis, pas mau nyari tahu tentang buku lain beliau selain Negara Kelima.  Beliau itu nge-link tentang film ini yang kalao gak salah sih bilang kalau belaiulah penulis skenarionya.  Pas buka, jujur tertarik gak teratrik, tapi dengan nama bang Es Ito da didukung dua pemeran utama yang seorang Laura Basuki dan Abimana (awalnya sempet, ini gimana ya chemistry-nya), jadilah film ini one of a-must-see-movies on february (yang ternyata banyak sekali film Indonesia bagus yang tayang dan bagi penulis pribadi sangat sayang untuk dilewatkan).  Naah, akhirnya meski seorang diri (karena gak yakin bakal ada yang mau ya dengans seabreg alesan terutama “apaan film Indonesia—yang maes BGT kan dengernya ngejudge tanpa cari tau dulu minimal ulasannya--) penulis pergi deh ke bioskop biasa.  Pas mau beli tiket sambil nyebutin film yang dimaksud, terjadilah hal yang bikin geeng-geleng sambil mengelus dada ini:

Mbak2: mau nonton film apa?
Penulis: Republik Twitter
Mbak2: berapa orang?
Penulis: satu aja
Mbak2: masih kosong, baru teteh aja yang nanyain (sambil liatin kursinya di computer)
Penulis: tapi tetep diputer mbak?
Mbak2: kalau cuma satu orang gak akan diputer, tadi juga yang pertama gak diputer soalnya gak ada yang nonton.
Penulis: *hening* emaaaaaaak *dalam hati*
Mbak2: gimana the mau dicoba dulu? Bentar lagi mau main soalnya.
Penulis: *gak mau rugi* ya udah nanti dulu aja ya mbak.
Mbak2: iya *sambil senyum yang dibilang kepaksa sih enggak, tapi dibilang tulus pun gak tau, senyum tugas lah itu*

Penulis tunggu beberapa menit, penulis liatin tuh loket ternyata belum ada yang mampir lagi.  Pas di menit-menit tearkhir adalah seorang bapak dan sepasang anak muda yang menghampiri loket itu. Dengan perasaan gembira dan penuh pikiran positif, penulis hampiri lagi aja itu loket dan seketika kecewa pas denger percakapan si bapak dan si mbak:
Mbak2 : film apa, Pak?
Bapak : fil anu *film hantu yang gak tau dan males tau juga namanya*
Mbak2 : berapa orang?
Bapak : satu aja.
Mbak2 : mau duduk dimana, Pak?
Bapak : di anu *kehilangan focus*
Monitor pun memperlihatkan deretan kursi yang walaupun belum penuh tapi setidaknya sudah terisi setengahnya.  Demi menghabiskan penasaran, penulis tanya lagi deh mbak2nya.
Penulis: mbak, gimana jadinya film #republiktwitter?
Mbak2 : gak tayang.
Penulis: ohh…

Dalam hati..

“heran yah (penonton) Indonesia, masih aja lebih tertarik sama film hantu geje disbanding film yang (katakanlah) bener, sampai film sekelas #republiktwitter aja gada penontonnya, *heloooooooooo*”

Sempat berfikir sejenak, akhirnya penulis putuskan untuk pindah ke bioskop lain yang jaraknya gak begitu jauh dari bioskop ini, sekali ngangkot lah *saking niatnya*.  Sudah menyiapkan kemungkinan terburuk kalo-kalo film ini gak jadi tayang juga di bioskop yang sekelas lebih tinggi daripada yang pertama ini, penulis pun kembali berkata dalam hati.

“kalopun gak ada penontonnya lagi atau gak keburu yang sekitaran jam itu, maka penulis memang belum ditakdirkan menonton film itu.”

Dalam kurun waktu kurang dari lima belas menit tibalah penulis di bioskop kedua.  Setibanya disana tanpa buang waktu akhirnya penulis samperin ticket box-nya, dan langsung beli deh…aahh…untung pas liat jadwal, jam tayang berikutnya itu pukul 16.20, sementara pas penulis tiba disana itu sekitar pukul 15.30, ada waktu buat shalat ashar dan…ngapain yaa? *untung bawa buku*.  Pas penulis beli tiket, percaya atau enggak kursi yang keisi baru dua dong yang sangat penulis curigai adalah ‘milik’ sepasang insan.  Sempet waswas tapi penulis fikir “bodo amat mau berapapun juga, yang penting diputer dan bisa nonton hari ini juga!”. 

Setelah shalat dan menunggu beberapa belas menit akhirnya penulis masuk juga ke studio yang sudah ditempati oleh tiga pasangan yang terpencar di berbagai barisan, namun masih di sayap kiri.  Sempet ngerasa keki gara-gara seolah terjebak dimana ya *ya kebayang ya, mereka semua pasangan dan penulis sendiri*, berharap ada lagi penonton non pasangan yang juga nonton, ehh…sampai mau diputer emang sih ada empat penonton tambahan, tapi ternyata merekan pun berpasangan.  “untung nontonnya gelap-gelapan” mencoba mensyukuri keadaan yang sebetulnya lumrah *lampu bioskop mati maksudnya*.  Dan, nontonlah penulis film #republiktwitter itu.
******
Poin utama yang ingin penulis bagikan adalah kenyataan bahwa banyak film Indonesia dengan kualitas (baik cerita ataupun acting) di atas rata-rata yang masih dipandang sebelah mata oleh prnonton Indonesia kebanyakan.  Mereka, penonton Indonesia kebanyakan, lebih rela buang-buang duit buat nonton film hantu yang sebenernya serem enggak,  bodor kurang, esek-eseknya justru iya.  Tapi yaudahlah itulah kenyataan barangkali bahwa sebagian besar penonton Indonesia, khususnya di bioskop pertama yang penulis kunjungi itu, cenderung lebih suka ditakut-takuti atau ketawa gara-gara ulah konyol tokoh-tokohnya disbanding liat film yang Cuma bisa bikin mereka sekedar menertawai satu realitas tragis yangbiasa disebut satire.

Waduh, penulis berhubung nulisnya gak sekali duduk jadi belepotan sangat nih, heu.  Intinya penulis Cuma mau share keprihatinan minimnya minta penoton Indonesia kebanyakan sama film-film yang sebenarnya seru, tapi Cuma karena dia film Indonesia non horror atau romantic-comedy, jadi…..semoga kita *khususnya penulis dan yang mampir ke blog ini bukan bagian dari jenis penonton yang banyak itu supaya perfilman Indonesia bisa semakin maju, aamiin!*

Sabtu, 18 Februari 2012

#republiktwitter: Dari Cinta sampai Politik..Semua deh Ada di Twitter!



Sutradara: Kuntz Agus
Penulis: Es Ito
Produksi: Anamalina Picture, Rupakata Cinema
Cast: Abimana, Laura Basuki, Ben Kasyafani, Enzi, Tio Pakusadewo, Leroy Usmani
Sinopsis: 
Adalah Sukmo (Abimana) seorang mahasiswa tingkat akhir Jogja yang keranjingan bermain jejaring sosial Twitter, sampai-sampai membuatnya nekat untuk ikut pergi ke Jakarta bersama Andre (Ben), teman sekostannya yang orang Jakarta, untuk menjemput komitmen dengan ‘kekasih’ Twitterannya, Dyah Hanum (Laura basuki), seorang jurnalis muda berbakat. 

Sesampainya di Jakarta, ia mengurungkan niat untuk menemui sang pujaan hati dan menunda mengejar koitmennya saat mengetahui bahwa Dyah Hanum yang selama ini ia kenal hanya melalui profil picture di account twiiter-nya itu ternyata jauh lebih cantik, belum lagi tak lama ada seorang lelaki yang menurut si Sukmo ini Jakarta banget tiba-tiba menghampiri si pujaan hati.  Ia yang hanya berkaus oblong, jins, dan sandal jepit kontan jiper sampai akhirnya memutuskan untuk tidak dulu menemuinya.  “Mundur selangkah untuk maju dua langkah” katanya pada Andre #ngeles. 

Di Jakarta, Sukmo tinggal di kediaman Andre yang tinggal bersama Ibu (Early Ashi) dan adik perempuannya, Gita.  Ia juga diajak berkenalan dengan kekasih Andre yang masih SMA, Nadya, yang ternyata juga penggila twitter sepertinya.  “Pacar kamu sama ababilnya kayak mobil kamu ya Ndre” canda Sukmo pas pertama kali liat Nadya.  Selain itu, ia pun rupanya mendapat kesempatan bekerja di ‘perusahaan pelayanan jasa’ milik bang Belo.  Pekerjaan yang tidak biasa namun sesuai dengan hobi-nya bertwitter ria. 

Ia bersama rekan-rekannya diminta mengorbitkan Arif Cahyadi, serorang politisi yang konon hendak mengajukan diri dalam PILGUB, yang ingin popular di dunia maya tanpa ingin memiliki account guna pencitraannya.  Mereka mendapatkan job tersebut melalui seorang yang mengaku sebagai konsultan komunikasi atau PR yangbernama Pak Kemal (Tio Pakusadewo).  Tugas mereka sih cukup membuat hastag #ARIFCAHYADI menjadi tranding topic, syaratnya gampang: berdiam diri di depan computer selama hampir full 24 jam, calling kolega untuk bantu mengetik hastag atau retweet, that’s all.  Syarat lainnya, tweet yang disampaikan harus efektif dan menarik seperti yang sering dilakukan Sukmo dalam tweet-nya seperti kata bang Belo (yang gara-gara itu jadi tertarik merekrut Sukmo.  “Kamu ada bakat di bisnis ini, Mo” katanya satu kali.

Sementara Sukmo sibuk ketak-ketik sampai kelupaan sama handphonenya, di sudut Jakarta lainnya Hanum lagi galau.  Galau karena ia dianggap kurang berkontribusi dalam setiap laporan, galau karena gagal bertemu Sukmo yang sduah lama ia nantikan, galau menanggapi keinginan ayahnya agar ia beralih menjadi presenter saja karena namanya belum pernah sekalipun muncul di liputan utama meski ia sudah cukup lama dan enjoy sebagai jurnalis, dan yang paling utama galau setelah ide yang hampir matangnya dicaplok begitu saja oleh wartawan senior di kantornya sampai ia lagi-lagi dianggap kurang berkontribusi oleh atasanya.  Berbagai kegalauannya itu membawanya pada satu keputusan untuk berhenti menjadi wartawan dan mulai mempertimbangkan menjadi presenter sekalian bikin bangga sang papa.  Ada sosok Rika (Jenifer Arnelita) reakan kerja sekaligus sohibnya serta Gary (Gary Iskak), lelaki yang selama ini mengejarnya, di sisi Hanum, tapi ia tetap masih merindukan dan penasaran dengan Sukmo.

Setelah suskes dengan proyek menjadikan #ARIFCAHYADI-nnya sebagai tranding topic, Sukmo dkk pun gajian.  Kesempatan ini pun ia gunakan untuk membayar hutang pada Andre dan bertemu dengan Hanum.  Pas ketemu, si Hanum yang tadinya seneng jadi bête dan kesel pas tau kalau Sukmo yang ia bayangkan slengekan ternyata berdandan sok rapid dan bergaya sok santun.  Pertemuan yang gak lebih dari lima menit dan cuma berisi kenalan, makasih, dan maaf karena harus pulang duluan.  Andre memperingatkan Sukmo buat konsisten sama perkataannya buat menjadi diri sendiri kayak nasehatnya pas Andre-Nadia berantem gara-gara Andre ngerasa diduain sama followers-nya Nadya.

Masalah muncul pas Sukmo yang tau kalau Hanum bakal berhenti jadi jurnalis pas ngeliat dari recent foto-nya di twitter langsung nyusulin ke kantornya, Lini Masa, dan mengungkapkan semua hal terkait akun rancangan #ARIFCAHYADI yang sedang booming itu untuk menjadi bahan berita Hanum demi mencegahnya mundur sebagai jurnalis.  Sejak itu hubungannya dengan Hanum mencair.  Hanum pun mendapatkan momentumnya sebagai wartawan baru.  Ide briliannya seputar rekayasa akun twitter sebagai salah satu strategi politik sangat diapresiasi oleh pimpinannya.

Berita utamanya hanum pun naik cetak.  Ia sangat diapresiasi oleh banyak orang.  Orang tua-nya, pimpinannya, reak-rekannya.  Namun tidak oleh Sukmo yang justru merasa terkhianati karena Hanum melanggar perjanjian dengan menyebut nama bang Belo dan Pak Kemal yang seharusnya anonim.  Juga Nadya yang belakangan diketahui sebagai anaknya Arif Cayadi yang jadi bahan pemberitaan.  Dan tentu saja Pak Kemal dan bang Belo.  Akhirnya, Sukmo pun melakukan klarifikasi melalui akun twitternya dan minta maaf pada pak Kemal yang kadung sudah dihujat banyak orang.  Bisnis ‘jasa twitter’ bang Belo pun hampir pasti gulung tikar.  Sukmo pun memutuskan untuk kembali ke Yogya menyelesaikan skripsinya.  Ia pergi dengan meninggalkan hand-phonenya.

Bukan maksud hati Hanum untuk mengkhianati kepercayaan Sukmo sebenarnya, namun apa daya sang pimpinan meminta Hanum untuk segera mengambi keputusan sulit untuk membuka dua nama yang semula dianonimkan jika ingin beritanya naik cetak sebagai berita utama.  Makanya, rasa bangga dan suka citanya terkontaminasi perasaan bersalah dan sedih.  Ia pun bertekad memperbaiki semuanya.  Bagaimana caranya? Mampukan ia megembalikan kepercayaan Sukmo? Bagaimana dengan Nadya yang marah setelah tahu bahwa Sukmo dan Hanum-lah yang berada di balik kasus sang ayah? Bagaimana nasib bisnis bang Belo pasca kehebohan berita akun rancangan itu? Apakah komitmen yang dikejar Sukmo itu kesampaian? Temukan sendiri jawabannya di bioskop kesayangan Anda segera! J
---

Menonton film ini bikin kita mesem-mesem sama manggut-manggut sendiri sambil bergumam dalam hati “ihh…kayaknya gue BGT deh kayak gitu”.  Banyak fenomena seputar penggunaan twitter mulai dari untuk sekedar mencurahkan isi hati hingga pencitraan diri; dari masalah cinta, bisnis, sampai politik, semuanya ada di twitter.  Karakter Sukmo dan Hanum ya sesama jamaah twitter taat dari dua latar belakang yang sangat bertolak belakang: Sukmo, pemuda Jawa sederhana bahkan secara penampilan cenderung ndeso; Hanum, gadis ibu kota yang modis dan tengah meniti karir sebagai jurnalis.  Dua insan berbeda latar budaya dan status sosial bisa menjadai begitu akrab melalui twitter.

 Ada pula Nadya, anak SMA kekasih Andre, sahabat Sukmo, yang juga penganut jamaah twitter yang tidak kalah taat sampai-sampai bisa sebegitu keselnya pas ada teman yang meng-unfollow twitternya tanpa seba “ya masalahnya dia duluan gitu yang nge-unfollow aku, coba aku yang duluan” gerutunya saat dinasihati Andre untuk tidak terlalu memikirkannya. 

Bang Belo lain lagi, semenjak hand-phone dengan nomor pin marak beberapa tahun terakhir ini, usaha warnetnya menjadi lesu sehingga ia pun banting stir dengan membuka layanan jasa pengelolaan akun twitter orang-orang terkenal yang ingin eksis di dunia maya tapi tidak memiliki waktu mengurus akunnya karena sibuk. 

Nah, Kemal yang katanya seorang konsultan komunikasi ini memanfaatkan momentum ke-boomingan twitter untuk menaikkan seorang tokoh bernama ARIF CAHYADI yang konon adalah kliennya.  Belo pun diliriknya untuk melancarkan usahanya dalam rangka membentuk pencitraan seorang Arif Cahyadi, yang belakangan hanya dimanfaatkannya untuk kepentinganya saja.

Di luar mereka, tokoh-tokoh dalam film ini tidak diceritakan sebagai penganut jamaah twitter.  Andre, sahabat Sukmo sekaligus kekasih Hanum, malah gak habis piker dengan tingkah polah orang kebanyakan, terutama anak muda yang disebutnya “generasi menunduk” saking asiknya bercyber ria via handphone dimanapun.  Rika, Cuma jadi pendukung Hanum dalam hal apapun di luar hobinya bertwitteria yang menurutnya “penuh kepalsuan”.  Arif Cahyadi, sang ‘tersangka utama” yang ternyata tidak tahu menahu apapun dan dimanfaatkan Kemal saja.  Ada lagi senior Hanum peliput berita politik yang degan liciknya mencuri ide Hanum.  Atasan Hanum yang sering menuntutny auntuk meningkatkan kinerja.  Ayah Hanum yang pecinta diskusi interaktif dan sedikit memaksa Hanum beralih profesi menjadi presenter.  Gary, pria metropolis yang naksir Hanum *kirain awalnya tunangannya*.  Ibu dan Adik Andre yang muncul sekilas-sekilas doang.  Serta Ibu Nadya (Nina Tamam) yang muncul Cuma di satu scene saja pas ngejamu si Andre di rumahnya.


Secara umum, nonton film ini asik meski entah ada sedikit perasaan bosa di tengah-tengah, tapi keseluruhan film-nya asik.  Kisah Sukmo-Hanum tidak mengambil porsi yang begitu besar, malah lebih banyak seputar tweet men-tweet.  Adegan romantisnya pun tidak lebih dari sekedar good-bye kiss di pipi sama pelukan yang seinget penulis Cuma sekali aja sepanjang film, dan paling pegangan tangan.  Kisah kasih Andre yang mahasiswa tingkat akhir sama Nadya yang masih SMA juga cukup unik ya.  Gimana ngambeknya Nadya yang masih SMA, Andre yang merasa terabaikan sama Nadya yang asik twitteran.  Yang juga menari , aktivitas twitteran yang porsinya banyak di sepanjang film itu terkesan sangat nyata.  Terutama di scene-scene di warnetnya bang Belo.  Penulis pribadi jadi mikir “oh…kayaknya gini nih kurang lebih kondisi para admin-admin suatu situs itu..yang kerjanya hampir 24 jam di depan layar, tidur disana, dan pantesan yang ngelola itu gak mungkin Cuma satu admin!”, yah sedikitnya jadi bisa membayangkan suasana kerja mereka. 

Tapi, meski asik ada beberapa hal yang mengganjal sih, sedikit kok.  Yang pertama dan terutama, penokohan Sukmo-Andre sebagai mahasiswa tingkat akhir.  Entah penokohannya atau malah cast-nya yang bermasalah, yang jelas Abimana dan Ben Nampak terlalu tua untuk jadi seorang mahasiswa walaupun tingkat akhir.  Terus, dandanan Jennifer Arnelita yang jadi Rika kayaknya agak berlebihan ya terutama di scene awal soalnya penulis pun sampai yang kesulitan mengidentifikasi awalnya.  Di luar itu gak ada masalah, asik, ending ceritanya pun gak sememaksakan dan seterburur-buru banyak film lainnya *IMO*, suka lah penulis mah.

Naah, sekarang yang unik dari film ini…
  • Suka sama gayanya Laura Basuki sebagai Dyah Hanum, sederhana tapi modisnya dapet, ditunjang tubuh jenjang—apalagi kakinya—asik lah liatny.
  •  Karakter ABG NAdya pas banget, manja-manjanya, ngambeknya, cemberutnya.
  • Beberapa dialog yang layak di-RT kalo via twitter:
  • Karakter dengan nama Nuil yang sama kayak nama tengah penulis (penasaran Bang Es Ito terinspirasi darimana) *jadi curhat*
  •   Munculnya sponsor2 kayak AX*OO, AP**E, B*.
  •  Orang tua-anak gak ada kemiripan (anaknya bule sama agak Chinese, ortunya Indonesia tulen)
  • Beberapa karakter yang kurang signifikan ke cerita kayak mama-nya Nadya.
  • aktivitas bertwitter-ria kayak follow, unfollow, retweet, block, reply, upload foto udah bener-bener nyata *yah emang harus gak sih? haha*
Segitu dulu deh, masih ada satu kisah yang mewarnai perjalanan penulis menonton film ini, berhubung kalau di post disini kepanjangan, penulis akan bikin sebagai postingan baru saja yaa dan diumumkan bukan khusus film ini aja. Yang pasti buat kalian ya para pengguna twitter, gak rugi deh meluangkan waktu nonton film ini di bioskop terdekat kesayangan Anda *buruan sebelum film-nya turn layar ini SERIUS!—akan dibahas dipostingan selanjutnya--* J

Jumat, 17 Februari 2012

There Can Be Miracle When They (GUNNERS) Believe

Arsenal, please, no more yellow jersey in this season at least guys (believe me, the blue-turquoise one is much more eye-catching and elegant than the yellow one *IMO*)…


Entah mengapa bawaan kalo liat Arsenal pake jersey berwarna mencrang itu feeling-nya langsung feeling kalah! Gak masuk akal BGT sih, tapi mungkin butuh diselidiki kalo warna itu terlalu ngejreng sampe bikin si pemain pusiing akibatnya banyak: susah ngasih umpan sampe ke depan gawang atau at least penalty area, sering salah umpan, gampang kehilangan bola, kurang bisa menghadang pemain depan lawan di area terlarang dengan baik, efeknya: ya kalah lah! Sebagai pendukung tim asal London Utara ini ya, jujur penulis sih lebih banyak geramnya daripada sedihnya pas liat permainan mereka lawan pemuncak klasmen Serie A dini hari kemarin di ajang Liga Champion. Ini kejadian bukan Cuma sekali aja ya, pas di musim kemarin pun kan coba mereka Nampak selalu kurang beruntung pas make kostum dengan warna yang menyilaukan mata itu. Ngerasa gak sih visitor, terutama kalian pecinta bola khususon pecinta GUNNERS? Kalo gak ngerasa pun gapapa sih, sekedar intermezo dan analisa #ngasal (baca: tanpa sumber ilmiah), jadi #abaikan saja.

nih, ekpresi kegembiraan dengan kostum away biru-turqoisnya


ini ekspresi kekecewaan pas make kostum kuningnya, hayoh masih gak percaya? #abaikan
         
Okay, ini hasil pertandingan dini hari kemarin pas secara tak terduga pasukan opa Wenger dicukur 4-0 oleh tuan rumah AC Milan di San Siro. Kalau sekedar kalah masih *okay, wajar yaa main away namanya juga, lawan Milan pula*, tapi kalau sampai ada empat gol yang masuk ke gawang Szczesny tanpa balas sekalipun lawannya sekelas Milan apa masih bisa dibilang wajar? Wajar sih kalau Arsenal itu adalah tim medioker yang tiba-tiba bikin kejutan gitu dengan untuk pertama kalinya tapil di fase knock-out Liga Champion. Ini kan, mereka langganan ya sebenernya meski prestasi terbaiknya Cuma samapai final aja tanpa belum pernah berkesempatan membawa pulang tropi-nya ke Emirates. Jadi, kalau dibilang kecewa yakin hampir pasti gak ada yang bilang enggak. Walaupun di leg kedua nanti RVP dkk diuntungkan sebagai tuan rumah, tapi emang mungkin gitu bisa menyamai capaian Rosoneri di kandangnya? Kalau bisa pun, emang akal dijamin gitu kalau bek-bek tuan rumah gak bakal melakukan kesalahan mendasar dengan membiarkan daerah jajahannya ynag mestinya terlarang itu ditembus dengan cukup gampangnya sama pemain depan tim tamu buat cegah mereka bikin gol tambahan? That’s all still a mysterious mystery.
ohh...malangnya kau Szczesny, musti mungutin 4 gol di gawangmu sendiri mas...
Di atas masih lanjutan curhat dari peragraf pertama ya *kacau*, tapi ini mah beneran review pertandingannya. Mengawali laga dengan cukup seru, sang tuan rumah akhirnya berhasil mejebol gawang Szczesny melaui sontekan kaki mantan pemain Spurs, Andre Prince Boateng, di menit ke-15 sehingga kedudukan pun 1-0 untuk Rosoneri. Setelah unggul satu gol, Ibra dkkk malah makin gencar melalkukan serangan. Sebelum lahirnya gol kedua delapan menit sebelum turun minum oleh Robinho yang mnerima umpan dari Ibra, Nocerino terlebih dahulu mengancam gawang-nya Szczesny yang gagal berbuah gol karena masih terlalu tinggi. Babak pertama pun berakhir dengan keunggulan 2-0 bagi tuan rumah, sementara tim tamu hampir tidak memiliki peluang yang membahayakan.
Ibrakadabra, si Man of the Match...
Selepas turun minum, Thiery Henry masuk menggantikan Theo Walcott dari kubu tim tamu yang sepertinya hendak melancarkan strategi baru. Sayang, rupanya seorang Henry tak cukup berarti setelah Robinho ustru kembali menjebol gawang tim tamu untuk yang kedua kalinya sekaligus menciptakan gol ketiga bagi tuan rumah di menit 49. Pasca gol ketiga itu, GUNNERS yang sudah sangat gerah mulai melancarkan serangan--yang masih sering terpatahkan oleh kuatnya pertahanan lawan—dan menciptakan sejumlah peluang. Sejumlah peluang dari tendangan sudut hingga tendangan bebas dari Arsenal kebanyakan masih mampu diatasi oleh kipper tuan rumah, yang kalau gak ditepis ya pas di pelukannya. Justru, satu kesalahan yang Cuma menambah beban tim tamu terjadi di menit ke-79 saat Djorou yang masuk menggantikan Koecielny menjatuhkan si Ibrakadabra yang akhirnya sukses merobek gawang Szczesny *yang sudah sangat speechless dan frustasi* melalui titik putih. Beruntung, sampai akhir laga tidak ada gol lain yang tercipta hingga skor 4-0 pun tidak semakin membengkak. Padahal, di menit ke-84, Pato masuk menggantikan pemian Brazil lainnya, Robinho. Sekali lagi, beruntung GAK ADA GOL TAMBAHAN KE GAWANG TIM TAMU.
Berasa reunian tim mana yaa.....??? *gak usah dijawab*
 Okay, sebuah hasil yang bukan lagi dramatis ya tapi tragis. Terlalu kecewa penulis sampai tak mampu lagi bersedih. Gak berani berharap yang muluk-muluk dan berharap untuk sebuah keajaiban yang entahlah akan pernah terjadi atau tidak. Jika tim yang bermarkas di Emirates Stadium ini bisa menguras permainan terbaiknya *tanpa (perlu) mengaharapkan kubu lawan berada dalam kondodisi yang sebaliknya* dan mampu menguatkan mentalnya serta yang tak kalah penting diliputi keberuntungan, tentu keajaiban berupa keterbukaan peluang itu masih sangat mungik ada. Jadi, sekarang judulnya adalah menanti keajaiban yang akan datang jika konon kita mmepercayainya seperti kata seorang diva pop dalam lirik lagunya “there can be miracle when you believe”. Tapi, penulis sangat yain ya keajabian itu juga tidak akan muncul secara tiba-tiba dan sendirinya. Tidak cukup hanya keyakinan, usaha dan kerja keras juga dibutuhkan. Naah, keduanya akan muncul tentu jika mereka percaya bahwa kesempatan itu masih sangat ada walaupun kecil bagi mereka, so you guys please do your best in Emirates, we always here standing by you!

Tearkhir, sedikit persembahan untuk Gunners kebanggaan penulis…
There can be miracles, when you believe
Though hope is frail, it's hard to kill
Who knows what miracles you can achieve
When you believe, somehow you will
You will when you believe

Selasa, 14 Februari 2012

Drama 14 Februari



14 Februari sebelas tahun lalu, waktu itu penulis yang baru saja kembali ke sekolah setelah menghabiskan dua per tiga dari waktu istirahat penulis yang berdurasi tiga puluh menit di rumah *berhubung rumahnya belakang sekolah*, tiba-tiba saja penulis diinterogasi salah seorang kawan sekaligus ‘musuh’ penulis. 

“kamu kemana aja sih?” tanyanya serta merta,

“dicariin juga dari tadi!” tambahnya. 

“emang kenapa?” penulis balik nanya. 

“iya, kemana dulu tadi?” katanya lagi kekeuh. 

“ke rumah kan kayak biasa, kenapa sih?” jawab penulis yang jadi penasaran.

 “Itu, tuh dicariin si anu, mau ngasih sesuatu”. 

“apaan?”

“tar aja deh liat”

Bel pun berdering, waktunya masuk kelas.  Dan, drama itu pun berlanjut di kelas yang kebetulannya masih belum ada guru.  Penulis duduk di bangku paling depan di barisan kedua setelah pintu atau ketiga dari meja guru yang terletak di pojok depan kelas.  Teman penulis yang tadi menginterogasi duduk pas disebrang penulis, barisan pertama dari pintu di bangku terdepan.  Alhasil, komunikasi dan koordinasi seputar permasalahan dicariin dan mengasihi pas istirahat tadi berlanjut tanpa ada kendala berarti.  Penulis sih sok cuek ya, emoh nanya duluan gitu, sampai akhirnya buka suara lah dia.

“hey, nih kata si anu”  katanya sambil nujuk ke teman sebangkunya.

“apaan sih?” kata penulis sok risih padahal seneng tea.

“ini nih, mau ngasihin ini” balasnya sambil menyodorkan sesuatu berbentuk persegi panjnag pipih yang bersambul kertas kado.

“apa ih?” reaksi penulis sambil naik-naikin bahu ekspresi gak mau bercampur kaget dan malu aja.

“ini nih, ambil dong dari dia nih” katanya lagi sambil terus menyodorkan benda yang disinyalir adalah cokelat seraya menunjuk orang yang di sebelahnya lagi.

Tanpa bersuara, berkali-kali penulis mengangkat bahu sambil melipat tangan supaya gak bisa ngambil barang itu.  Sialnya, meja penulis gak lama jadi dikerubutin orang-orang yang berdatangan saking bawelnya temen sebangku penulis yang ikutan maksa ngebujukin buat ngabil tuh ‘kado’.  Penulis bergeming untuk tidak mengamil, temen-temen penulis heboh suruh ngambil.  Ada satu temen penulis yang terus bilang:

“kasian, dia udah beli pake uangnya sendiri loh”

Penulis akhirnya menolehkan kepala ke bangku si teman tadi, dan sayangnya orang yang konon si pemberi cokelat yang memang pas saat itu sudah cukup lama terlibat perang dingin dengan penulis yang entah karena apa itu malah lururs-lurus aja liat ke depan walaupun sesekali kayak tersipu gitu.  Gak tega juga, tapi penulis kadung malu, padahal sempet dikompor-komporin temen sebangku:

“udah ih amabil aja, itu cokelat loh, ambil aja terus nanti aku minta ya” kurang lebih begitu.

“cokelat? Mau BANGET” kan jerit penulis dalam hati.  Mau banget juga sih ngambil, tapi malunya itu loh…ahh..si temen pake ngeyakinin kalo si pemberi ‘kado’ bener-bener beli kado yang belakangan adalah memang benar cokelat itu pake uang yang konon dia kumpulin sendiri, bukan minta orang tuanya *beli cokelat seharga sekitar lima ribu taun segitu untuk ukura anak berseragam merah putih memang bukan jumlah yang sedikit juga kan*.

“bener loh, dia beli pake uangnya sendiri, bukan minta dari mama-nya”  bujuknya.

Penulis masih ekkeuh ogah, sampai akirnya temen-temen penulis yang melakukan intervensi terhadap kasusu itu berinisiatif measukan ‘kado’ tersebut secara paksa k etas penulis.  Tadinya udah mau penulis keluarin lagi, namun apalah daya pasti mereka masukin lagi, jadi yasudahalah..”cokelat juga kan” piker penulis *sedikit licik*.  Mereka yang mersa berjasa atas suksesnya cokelat itu sampai ke tangan penulis di akhir berkelakar “ehh..tar bagi ya cokelatnya”.  “enak aja” batin penulis.

Akhirnya drama itu pun berhenti setelah misi memberikna cokelat itu terlaksanan dan sang guru masuk.  Sekitar satu setengah jam kemudian, bel pulang pun berbunyi, dan penulis segera ngacir sebelum ditagih cokelatnya *licik BGT gak sih, haha*.  Pas di jalan bareng temen, masih sempet-sempetnya si temen yang tadi ikut ngebujuk masukin lagi sesuatu yang bekalangan adalah sepucuk surat yang konon masih dari orang yang sama.  Malu, aneh, tapi sebenernya seneng juga sih *modus*.  Akhirnya ke si teman yang penulis anggap berjasa ini penulis janjikan buat ngasih cokelat, sebagai tanada terimakasih sekaligus biar gak ketahuan kalo sebenernya penulis seneng dikasih tuh ‘kado’.

Pas di urmah, tanpa membuang waktu, penulis segera masuk ke kamar, kunci pintu, terus buka tuh kado deh yang ternyata isinya cokelat putih *rasa susu* merk terkenal.  Dalam hati begitu tau penulis langsung menggerutu “ih..kok bukan yang cokelat aja sih” *gak bersyukur BANGET ya gue*.  Tapi ya udahlah, yang enarik ternyata di atas bungsuk cokelatnya si pemberi menyematkan satu ucapan pake caps lock “HAPPY VALENTINE”.


“VALENTINE?????” tanya penulis dalam hati bingung…..
***
“Valentine????” otak penulis seketika dipenuhi satu kata itu.  Sebelum memikirkan artinya, penulis lebih dulu dibikin bingung sama gimana-cara-bacanya “va-len-tin”, “va-len-tain”, “ve-len-tin”, dan lain-lain.  Usut punya usut, tanya sana sini dulu, akhirnya penulis pun menemukan jawaban dari pertanyaan itu.  Katanya kata itu bermakna hari kasih sayang dan di hari itu kita ngasih sesuatu buat nunjukin rasa sayang kita ke orang yang kita sayangin, bisa pake bunga, boneka, kue, atu yang paling umum ya cokelat, kayak yang penulis terima.  Dan, itulah pertama kalinya penulis ngeh dan kenal sama yang disebut “Valentine”.  Setahun setelahnya penulis amsih sempet merayakan hari yang diperingati saban 14 Februari itu dengan cara bertukar kado dengan teman, kado kecil-kecilan, jajanan gitu.  Naah, tahun berikutnya penulis keburu dikasih tau bahwa ternyata perayaan 14 februari itu gak boleh karena ini itu dan banyak hal yang intinya mah dilarang.  Meski masih percaya gitu aja tnpa tau landasan pastinya, tapi penulis sudah bertekad untuk tidak merayakannya lagi.  Nah, maka pastaun depannya temen penulis ngasih, penulis dengan berat hati hanya bisa mengucapkan makasih tanpa bisa ngebales.  Semakin besar, penulis semakin banyak menemukan pernyataan dan informasi seputar pelarangan perayaan ini menurut keyakinan penulis, gak jarang juga nemuin selebaran yang isisnya intinya seputar bahaya si Valen sama nTin ini, dan ya pada akhirnya penulis memngerti dan sampai saat ini tidak membudayakan malah sudah tidak kenal lagi dengan Valentine yang diperkenalkan oleh si pemberi cokelat sebelas tahun lalu yang adalah juga anak sekolah dasar saat itu.  Begitulah kira-kira drama 14 Februari yang membuat saya mengenal kata yang kini sudah tidak ada lagi dalam kamus saya.  We share love to everyone, wherever and whenever no matter what when we are care each other. J