Sabtu, 19 Juni 2010

Alangkah Lucunya Negeri Ini

Suatu ketika saat sedang browsing sesuatu, secara tak sengaja dalam sebuah situs atau blog (hduhhh…I forgot), ditemukanlah sebuah video thriller film yang kemudian diketahui berjudul Alangkah Lucunya Negeri Ini. Ternyata eh ternyata didorong oleh rasa penasaran, tangan ini mlakukan pencarian lebih lanjut terhadap judul tsb. Dalam sekejap (ceilehh..teknologi jaman sekarang cuy!) munculah sederetan situs yang berhubungan ma film ini. Setelah membuka beberapa, diketahuilah ternyata film ini bukan sembarang film karena film ini ternyata film’ Deddy Mizwar, one of my favorite film-maker! hemmh..secara udah kebuktian di beberapa film Bang Haji sebelumnya yang TeOPe ceritanya, jadi tidakberlebihan donk jika ekspektasi terhadap film ini akan se-Oke film-film beliau yang lain sperti Kiamat Sudah Dekat, Ketika, n Nagabonar Jadi 2. Faktor lain yang makin bikin penasaran pengen bahkan harus nonton ni film yaitu selain Bang Haji’nya sendiri nih film juga dibintangin ma one of my favorite Indonesian actor’s Reza Rahardian! Wawww..What a-must-see movie I think! Judulnya yang provokatif, man behind movie’ yang namanya sudah tidak diragukan, dan tentu jajaran aktor pendukung film yang tidak sembarangan seperti Reza Rahardian, Slamet Rahardjo, Rima Melati, Jaja Miharja, dll makinmelengkapi rasa penasaran terhadap nih film. Alhasil dengan tekad yang sebulat bola, disusunlah rencana untuk menonton film ini. dan, akhirny stelah berhasil mempraktekan jurus “rayuan maut”, kesampaian juga nonton nih film sama dua orang teman saya yg baik hati (thanks yah girls..sudah mau termakan bujuk rayuu..hehehe). Sebelum ke my own review, kit abaca dulu jalan ceritanya secara umum.

*Plot*

Alkisah I suatu sudut ibu kota, tersebutlah seorang pemuda bertitel Sarjana Manajemen bernama Muluk (Reza Rahardian), yang hidup berdua dengan ayahnya sebut saja Pak Husen (Lupa..hehe, Deddy Mizwar). Pasca lulus, ia masih belum juga mendapatkan pekerjaan smapai-sampai sebut saja Pak Kasim (lupa juga, Jaja Miharja) tetangga sekaligus bakal calom mertua (muluk ma anak perempuan’y nih bapak saling taksir) yang dari awal sudah apatis terhadap pendidikan, semakin apatis. Dalam setiap kesempatan ia selalu berkata “PENDIDIKAN ITU GAK PENTING”, sementara ayah Muluk selalu berkeyakinan bahwa pendidikan itu penting. Namun demikian, meskipun mereka kurang sepaham dalam hal pandangan terhadap pendidikan, namun pada dasarnya mereka bersama sebut saja Pak Haji Anwar (sama-sama lupa, Slamet Raharjo) merupakan tiga serangkai di kampung tempat mereka tinggal.

Suatu hari Muluk tanpa sengaja mendapati seorang pencopet cilik yang sedang beroperasi di pasar yang pada akhirnya membawanya masuk ke dunia para pencopet tersebut. Dan disanalah ia, yang sempat hampir membuka usaha ternak cacing, mendapatkan pekerjaan yang selama ini tak kunjung menghampirinya. Tentu saja bukan sebagai pencopet, melainkan sebagai manajer bidang keuangan yang bertugas mengelola uang hasil copetan para pencopet cilik yang berada di bawah komando sebut saja Bang Codet (hyaa..lupa u/ kesekian kalinya! Tio Pakusadewo). Ia pun tidak serta merta diterima dalam komunitas copet yang terbagi ke dalam tiga kelompok: Copet Mall dengan gaya yang dibuat seolah-olah anak gaul,; copet pasar yang bergaya selayaknya anak-anak jalanan; dan yang terakhir copet angkot yang berlagak sperti anak sekolahan. Ada Glenn (lupa sama sekali nama’), sebut saja Acong (gak tau malah nama asli’), dan sebut saja si Adalah (ini sih kenal, Sakurta Ginting) yang merupakan pimpinan dari tiap kelompok.

Semenjak kehadiran Muluk, uang hasil copetan mereka disetorkan kepada Muluk untuk kemudian ditabung di Bank setelah dipotong 10% untuk mengaji dirinya. Dalam waktu yang relatif singkat, Muluk bukan hanya mampu membuka rekening dan membuat buke tabungan, bahkan sampai membeli motor yang digunakannya untuk kebutuhan operasional katanya. Suatu hari ia sadar bahwa para pencopet cilik itu tidak mendapat pendidikan yang layak, buktinya baca tulis pun mereka sama sekali tidak bisa. Didorong oleh rasa keprihatinan dan kepeduliannya sebagai seorang sarjana yang sudah barang tentu berpendidikan, ia pun berinisiatif untuk mendidik mereka sehingga ke depannya mereka bisa sadar bahwa profesi yang mereka tekuni sekarang bukanlah profesi yang baik. Ia pun mempercayakan pendidikan anakanak tsb kepada sebut saja Asrul (ya ampuun..I almost forgor most of the character! yg jadi bang Asrul di PPT), seorang Sarjana Pendidikan yang hari-harinya diisi dengan bermain kartu. Awalnya ia kurang merespon ajakan temannya tsb terlebih setelah ia mengetahui bahwa yang harus dijarnya ialah sekelompok pencopet! akan tetapi, setelah diyakinkan oleh Muluk, ia pun akhirnya setuju untuk mengajari anakanak itu. Sejak itu, berambahlah pekerjaan mereka disamping mencopet, yakni BELAJAR!

Kemudian di satu waktu muluk secara tidak sengaja bertemu dengan pak Haji Imran, dan beliau—yang tahunya Muluk telah mendapatkan pekerjaan yang layak hingga bisa memiliki sebuah motor –memintanya untuk mencarikan pekerjaan bagi anaknya sebut saja Tika (heu..again forgot! Tika Brivani). Tika, gadis yang hobinya mengikuti berbagai kuis interaktif maupun undia-undian di berbagai stasiun TV atau instansti terkait sampaisampai ayahnya hanya mampu menggelengkan kepalanya melihat tingkah putrid semata wayangnya itu. Akhirnya, Muluk pun merekrutnya sebagai pengajar agama! yah dengan latar belakang ayahnya yang haji itu, Muluk pun meyakinkan Tika bahwa ia pasti bisa. Dan, ia pun memulai pelajarannya dengan bab: KEBERSIHAN! Yah, kebanyakan dari anak-anak itu memang jarang bahkan hampir tak pernah mandi, bukan karena tak ada air melainkan karena mereka memang tak mau. Maka sejak saat itulah status mereka berubah. Bukan lagi pencopet yang sekedar pencopet, melainan pencopet yang berpendidikan sekaligus mempunyai pemahaman agama meski belum banyak.

Waktu pun berlalu, orang tua Tika dan Muluk begitu bangga terhadap putra-putrinya yang mereka fikir memang betul-betul telah memiliki pekerjaan. Hingga pada suatu hari tiga sekawan tadi Pak Husen, Pak Kasim, dan Pak Anwar brencana ingin melongok tempat kerja anak-anaknya tsb. Tika yang pertama kali mendengar rencana “dahsyat” ketiga serangkai itu serta merta menghubungi Muluk, namun tak berhasil! Alhasil, mau tak mau ia pun menuntun ketiga sekawan tsb ke tempat dimana ia biasa mengajar. Sementara di tempat yang sama Muluk, Asrul, dan anak-anak telah menunggu detik-detik peresmian barang asong mereka, yang nantinya akan membawa mereka beralih menjadi pedagang asongan yang lebih halal dari mencopet. Adapun barng-barang tersebut dibeli dari uang hasil copet yang dikelola oleh Muluk itu tadi. Disini, diketahui bahwa sebenarnya niat awal Muluk baik, ingin menuntun mereka untuk menekuni pekerjaan yang lebih baik, yang halal, meskipun tetap caranya tidaklah bisa dibenarkan meski tidak buruk juga sepenuhnya.

Betapa kagetnya Muluk ketika ia mendapati Tika datang bersama ketiga orang tua yang dihormatinya. Ketiga serangkai itu pun tak kalah kaget, bahkan setelah mengetahui bahwa selama ini penghasilan yang diberikan oleh anak-anak mereka berasal dari uang hasil mencopet, mereka tidak hany kaget, tetapi juga teramat kecewa dan sedih. Mereka yang sudah kadung bangga dan percaya bahwa anak-anak mereka serta merta terpukul oleh ‘kebohongan’ mereka. Menyadari bahwa orang tua mereka sudah begitu kecewa terhadap mereka, akhirnya Muluk dan Tika pun memutuskan untuk berhenti “bekerja” sebagai manajer dan pengajar bagi para pencopet tsb. Namun, mereka pun tidak pergi begitu saja. Sebelum mereka benar-benar mengakhiri semuanya, mereka menyempatkan diri untuk yang terakhir kalinya menyambangi tempat dimana untuk beberapa waktu ke belakang menjadi arena belajar mengajar mereka. Dan, betapa kecewanya mereka setelah mengetahui bahwa enam box dangangan asngan yang telah mereka beli belum satu pun diasongkan, yang artinya mereka masih tetap menjadi pencopet!

Dengan lemah, Ia pun hanya mampu berharap bahwa kelak ada diantara mereka, bahkan jika memungkinkan seluruh pencopet itu, ada yang mau beralih menjalani profesi pedagang asongan yang lebih halal. Singkat kata, putuslah hubungan mereka, sampai suatu hari secara tidak sengaja ketika ia sedang berlatih menyetir—sebagai calon pekerjaan barunya—ia bertemu dengan Acong dan lima anak lainnya yang edang mengasongkan dagangannya. Betapa senang dan bangganya ia karena pada akhirnya ada juga yang mau beralih menjadi pedagang asongan.
***

*my own review*
Heuu,
Panjang bener yah review nya?? hehe. . Okey in my personal opinion, nih Film is one of the most touchy movie I’ve ever seen. Yah, gimana yah nih film tuh sampe bikin nih mata kayak keran gituh, ngocor terus air dari mata di banyak scene. Sampe gambar dilayar ganti ma credit title, bahkan sampe dah keluar dari mall tempat bioskop yang muter nih film ada, nih otak masih teteuppp aja merenung (ceileeeh..gaya bener yah kayak yg he’euh! heu). Eehh..tpi sriuzan loh, nih film emang TOP deh, kena lah pesennya, dan gak lebay. maksudnya, okelah nih cumin film, tapi yah jatohnya cukup mewakili realita yang ada. Kan banyak tuh, film bagus yang tapi unsure filmisnya masih aja kentara. Eittss..tapi sekali lagi ini mah opini pribadi yah dari kacamata seorang penikmat movie bukan pengamat apalagi kritikus film..hehehe

# yang pazti nih pelm worthed BGT..a must see laah..! ^%^

Selasa, 01 Juni 2010

Curhat dulu ahh…

Hemmh..sebenernya nih kejadian udah rada lama juga, yah sekitar 2 minggu ke belakang. Cerita ini yah tentang yang nulis nih cerita dong (jadi siapa tah yang dong-dong!?!?!?).

Alkisah di suatu maghrib (ba’da maghrib sih tepatmnya) sang penulis berpamitan pada sang ibunda untuk berangkat ke sebuah kota di luar Bandung sana untuk kepentingan dinas. Sang bunda tidak melarang hanya menganjurkan agar ia berangkat esok subuh saja mengingat hari sudah mulai larut. Namun, sang penulis menolak dengan dalih ia memegang amanah yang cukup penting dalam kegiatan tsb (ceileehh..). Setelah melewati sesi diskusi sejenak (coz dibilang debat juga da enggak sampe gimanaaa tuh) akhirnya ia pun diberi restu oleh sang bunda (thankz mommy ^^). Ia pun bergegas menuju terminal mengingat hari yang sudah semakin sore (magrib kan msih keitung sore, iya kan???). Sebenarnya ia pun awalnya ragu karena ia yang notabene seorang makhluk yang diciptakan dari tulang rusuknya “titisan” nabi Adam kudu menempuh perjalanan yang walaupun tak begitu jauh (Cuma 2 jam ajah) tetap menimbulkan rasa was-was. Pasalnya ia bepergian di malam hari dan seorang diri pula (rekan2 yang laen udah pada duluan pas ashar, truz ada satu yang janjian tapi susah dihubingin n gak da kabar-kabarinya! heu) menuju kota yang walaupun tidak begitu asing (secara udah hamper tiap lebaran nyabanin tuh kota); tetapi tetap saja begitu asing bagi sang penulis yang jelas-jelas bukan penduduk asli kota itu. Namun, demi menunaikan amanah ikatan ia pun memantapkan hati untuk memberanikan diri menempuh perjalanan selama dua jam dari kota yang konon djuluki Paris van Java karena keelokannya di masa lalu (percaya deh kalo ada embel2 masa lalunya coz kalo sekarang mah kyaknya engga tuh!—curahan hati wrga sipil—) ke tetangganya kota tetangga, kota Intan binti dodol! Dan pada akhirnya ia pun berangkat juga.

*naik bus*
Tanpa harus menunggu lama (yah buat ukuran angkutan umum antar kota mah, 30 menit gak lama dehh) akhirnya ia pun memulai perjalanannya. Bus yang hendak ia taikki, telah nangkring dengan manis di seberang terminal menunggu hingga seluruh kursinya terisi. Saat ia menaikki kendaraan antar kota itu, kursi-kursinya telah terisi hamper tiga per empatnya dan ia pun mengambil posisi di sebelah kiri badan bus di kursi yang sebelahnya telah bertengger teteh atau ibu (gak yakin enk, udah malem soalnya! heu) yang sedang menikmati camilannya. Kembali ke awal, 30 menit telah berlalu dan setelah hamper semua kursi terisi (paling tinggal nyisain 1,2,3 kursi kosong) bus pun melaju dengan santainya sampai daerah Cileunyi (sambil nyari calon pengisi kursi kosongnya gituh). Setelah memasuki Rancaekek dan si awak bus yakin bahwa busnya telah penuh, barulah bus melaju dengan kecepatan standar: tidak terlalu ngebut, tetapi tidak terlalu santai juga. Dan seperti biasa, namanya kendaraan umum pasti banyak yang turun naik di tengah jalan (tapi banyakan yang turun nya sih), hingga ketika bus memasuki kawasan Leles, kursi-sursinya sudah cukup lengang. Sang penulis cukup menikmati perjalanannya walaupun ibu-ibu yang duduk di sebelahnya telah turun di daerah Kadungora. Lengangnya bus, basahnya jalanan oleh guyuran gerimis, dan petikan gitar dari musisi jalanan (baca: pengamen, yang entah kapan dan dimana naiknya) membalut gelapnya langit kota yang dialiri sungai Cimanuk ini. Namun sayangnya, sejak memasuki kawasan Nagreg sang Penulis terganggu dengan penyakit “beser” yang tiba-tiba saja menyerangnya, alhasil sisa perjalannya pun dilalui sambil menahan hasrat untuk membuang air kecil yang tertahan sejak Nagreg tadi. Singkat kata, akhirnya bus tiba juga di pemberhentian terakhir: terminal. (alhamdulillah..nyampe juga di nih kota dengan selamat)

*di terminal*
Begitu sang supir menginjak pedal rem yang secara otomatis membuat laju bus terhenti, dengan bergegas turunlah sang Penulis. Dengan menahan rasa ingin membuang air kecil yang sudah menggebu mata nya pun segera berkeliling mengintari sudut-sudut terminal yang sudah gelap gulita (kalo dipikir2 mah serem da! hii)

(bersambung dulu yah, ntar kapan2 diambung lagi..tungguin ajah)